Change The Language

EnglishFrenchGermanSpainItalianDutch RussianPortugueseJapaneseKoreanArabicChinese Simplified

Minggu, 22 April 2012

Limbok

Cerita KauMuda Karya Nailatul Faiqoh*
Editor Ragil Koentjorodjati
kecupan gadis
Ilustrasi dari masbeni.file.myopera.com
Langit abu-abu tertiup angin pagi sepoi-sepoi, mendayu-dayu menerpa bulu roma sampai bergidik. Perlahan butiran air gerimis menghujam kulit yang semakin terasa tajamnya. Tak juga kunjung terang airnya. Sudah sedari malam gerimis seperti ini membasahi desa kami. Luapan sungai sudah hampir di atas mata kaki. Padi musim panen kali ini sudah rubuh tertiup angin kencang tengah malam tadi. Hal yang lebih ditakutkan warga bila angin terus berhembus dengan kencangnya adalah robohnya rumah-rumah gedheg atau bahkan menumbangkan pohon besar di area sekitar rumah. Untungnya pagi ini angin tak lagi menggarang, hanya menyisakan gerimis dan langit mendung.
Jam tujuh hampir tercapai namun ruang kelas masih terlihat sepi, hanya beberapa anak yang rumahnya di sekitar sekolah sibuk membantuku memindahkan bangku dan meja ke tempat yang lebih kering. Masih kurang beberapa anak yang belum datang sampai aku putuskan pelajaran harus dimulai. Sesekali pandanganku menengok ke arah luar, mungkin saja seorang anak spesial datang terlambat. Anak itu bernama Limbok.
Dulu anak itu hampir tak dapat bersekolah di tempat ini. Sekolah luar biasa letaknya jauh dari desa. Biaya akomodasi terbilang mahal untuk keluarga Limbok, apalagi ibunya yang sudah menjanda. Sejak Limbok berumur 3 tahun, ibunya hanya bekerja sebagai buruh tani di sawah milik tetangga. Membanting tulang mencari uang sendiri tidaklah memungkinkan bagi ibu Limbok menungguinya di sekolah sampai selesai.
Ibunyalah yang bersikeras memohon kepada pihak sekolah agar Limbok diperkenankan tetap mendapat pengetahuan. Untungnya pengurus sekolah dan juga sebagian guru tersentuh dengan cerita ibu Limbok dan memperbolehkanya bersekolah di tempatku mengajar secara sukarela sebab kekurangan tenaga pengajar. Sistem pengajaran yang diberikan pada Limbok cukup berbeda dari murid lain.
Untungnya sebagian banyak murid tidak pernah mempertanyakan keadaan Limbok, seolah mereka sudah paham dengan perbedaan di antara mereka. Bahkan beberapa anak sering mengajari Limbok berhitung atau menulis. Ibu Limbok bersyukur karena teman Limbok baik-baik dan selalu mengantarkan Limbok pulang sekolah. Limbok tidak pernah membuat ulah atau menjahili teman-temannya. Walau tumbuh sebagai anak dengan keterbatasan otak, Limbok cukup punya semangat yang tinggi.
Limbok sering bilang, ibunya selalu bercerita kalau jadi orang pinter nanti bisa punya banyak uang untuk beli mainan dan ibu Limbok juga sering menangis sambil menyuruhnya belajar terus. Karena tak mau melihat ibunya menangis itulah yang mungkin membuat Limbok selalu bersemangat untuk sekolah. Bahkan ibu Limbok pernah bercerita kalau limbok itu selalu bangun pagi dan ingin cepat pergi sekolah. Pernah saat itu Limbok sakit panas meski masih kuat berjalan ibu Limbok tidak memperbolehkanya pergi ke sekolah tapi Limbok justru menangis sampai ibunya tidak kuasa menahan keinginan anaknya itu untuk tetap pergi bersekolah. Namun terkejut yang didapati ibunya, lantaran Limbok kembali sehat dan sudah turun panas tubuhnya. Pastilah sungguh sayang ibu Limbok pada anak perempuan satu-satunya itu.
Sudah seperempat jam pelajaran dan Limbok tak juga muncul. Padahal di hari biasa Limbok selalu jadi yang pertama kali datang ke sekolah. Apa mungkin Limbok sakit, atau karena gerimis dan angin kencang tadi malam yang membuat ibu Limbok harus datang pagi ke sawah sampai tak sempat mengantarkan anaknya? Bukankah kalau tak sempat mengantar Limbok selalu dititipkan pada anak tetangga yang lantas mengantarnya ke sekolah?
Kembali pandanganku mengarah ke luar pintu. Kali ini tampak dari jauh seorang wanita setengah baya mengenakan plastik hitam di kepala tengah menggandeng seorang gadis kecil dan payungnya tampak berlubang di beberapa bagian. Itu Limbok yang tersenyum lebar menatap ke arahku. Senyumku memecah kecemasanku yang membuat bibir ini menyapa kedatangannya. Setengah berlari Limbok mencium tanganku dan masuk ke dalam kelas, sementara aku dan ibu Limbok masih tersenyum memandang keceriaan Limbok.
“Tumben sekali Limbok terlambat Bu, pikir saya Ibu sedang sibuk mengurus panenan yang rusak sampai tidak sempat mengantar Limbok.” Sambil tersenyum ibu Limbok bercerita tentang Limbok yang sibuk membuat PR menulis surat hingga tengah malam sampai-sampai ibunya kesiangan bangun. Seperginya ibu Limbok aku kembali masuk ruang kelas dan kembali mngajar dengan perasaan lega.
Sudah menjadi kebiasaan anak-anak ketika jam pulang sekolah berdoa dan salam di ucapkan bersama, adat mencium tangan pada guru belum pernah mereka lewatkan. Terutama Limbok yang berpolah lucu dengan kebiasaanya memberi ciuman jauh lalu melambaikan tanganya kepadaku. Sungguh anak itu tak pernah lekang memberi keceriaan pada semua orang. Dan itu merupakan suatu penyemangat tersendiri bagiku.
Ramai keceriaan serta semangat belajar yang tinggi dari anak-anak sudah mulai hening. Kini tinggal aku sendiri di dalam kelas dengan tumpukan buku tugas milik anak-anak. Memang baru kemarin aku memberikan tugas menulis sebuah surat yang telah menunggu untuk aku baca.
Satu demi satu surat aku baca. Beragam isinya ada si Ratna yang menulis surat untuk bapaknya di Arab Saudi, ada juga surat Uyung yang menceritakan kondisi sekolahnya, dan kini giliran surat Limbok yang harus aku baca. Entahlah karena apa aku sedikit merinding saat memegang surat ini. Tulisanya tak rapi , lebih cocok kalau disebut tulisan anak berumur 4 tahun yang sedang semangat belajar menulis. Sempat aku teringat cerita ibu Limbok tadi pagi perihal keterlambatan Limbok masuk sekolah karena harus menunggui Limbok menulis surat untuk pak presiden katanya. Penasaranku kemudian menyelinap memaksaku segera membaca isinya.
“Kata Ibu, presiden itu seorang pemimpin. Ibu juga bilang pemimpin suka membantu orang. Limbok ingin presiden bantu ibu cari uang banyak. Kalau ibu punya uang banyak tidak lagi ngarit sawah tetangga. Kalau uang ibu banyak Limbok juga mau minta dibuatkan tempat sekolah yang ga bocor langitnya, yang ga banyak rayapnya. Presiden harus bantu Ibu Limbok ya.”
Air mata tak sadar menetes tak mampu kubendung lagi. Aku sadar air mata ini seolah membuktikan bahwa anak-anak butuh tempat lebih layak dari pada tempat ini. Bukan masalah gaji seadanya untuk kami para guru sukarelawan yang berupa hasil kebun sumbangan warga. Tapi ini lebih karena suasana belajar murid yang tak kondusif. Pikirku, andai presiden juga membaca surat ini mungkin sama terkejutnya denganku, membaca isi surat anak yang dengan pertumbuhan dan pemikiran lambat.
Sudah satu minggu ini langit mendung meski hujan juga tak menampakan diri sama seperti suasana kelas ini yang tak lagi cerah seperti saat Limbok ada di antara kami. Saat tawa kami pecah mendengar suara kentut Limbok yang keras melantun membuat anak-anak menutup hidung. Atau keceriaan Limbok saat melihat ada anak yang terpeleset genangan air saat hendak maju ke depan kelas, juga peristiwa-peristiwa haru saat Limbok bercerita tentang dirinya yang senang makan nasi kur atau nasi bekas pemberian tetangga yang dikeringkan lalu di masak kembali yang kemudian dimakan bersama timun rebus serta sambal buatan ibunya. Katanya rasanya nikmat bila dari tangan ibu.
Banyak cerita-cerita lain yang sering kami dengar terutama saat jam istirahat. Aku terkesan dengan hidupnya juga ibunya yang hebat membesarkan Limbok seorang diri. Mungkin juga anak-anak yang mulai menyayangi Limbok yang sama terkesannya denganku.
Semua pelajaran telah selesai. Saatnya mereka untuk membereskan alat tulis dan bersiap pulang. Salam belum sempat aku ucapkan ketika tiba-tiba Pak Soleh, salah seorang guru yang mengajar di kelas 4 datang memberi pengumuman bahwa Limbok telah meninggal dunia siang ini.
Kedua kakiku bergetar, tak kuat menopang tubuh ini mendengar kabar kematian Limbok. Aku terkejut sampai tak mampu membendung tangis. Begitu halnya dengan anak anak yang kemudian dituntun Pak Soleh untuk membacakan doa untuk Limbok.
Limbok sudah lama sering mengeluh sakit kepala, tapi kondisi keuangan yang membuat Limbok hanya diminumi obat yang dibeli dari warung. Makin lama kondisi Limbok makin menjadi, bahkan sampai membuatnya kejang dan sering tidak sadarkan diri. Hal ini membuat ibunya mau tak mau berhutang untuk memeriksakannya ke Pak Mantri namun tak juga mendapat hasil, sampai puncaknya kemarin sore Limbok kembali pingsan yang lantas para tetangga membawanya ke rumah sakit dengan biaya sukarela warga. Namun terlambat, penyakit kanker otak sudah menjalar ke seluruh tubuh dan tepatnya siang ini Limbok pun meninggal dunia.
Sorenya setelah semua kelas kosong, aku bersama guru yang lain melayat ke rumah Limbok. Sampai di sana aku dapati segerombolan anak masih memakai baju seragam memenuhi rumah Limbok yang tak salah lagi adalah teman sekolahnya. Haru makin menjadi, membuat tubuhku lemas sampai harus dipapah beberapa guru saat ibu Limbok memberiku sebuah celengan berisi recehan uang saku yang tak pernah dihabiskan semua dan sudah lama dia kumpulkan katanya.
Uang ini kalau sudah banyak mau digunakan untuk membangun sekolah yang bagus biar Limbok dan teman-teman bisa sekolah dengan nyaman, dan ibunya juga tidak perlu memanasi baju mereka di tungku sampai kering setiap kali air hujan turun dari bagian genteng yang bolong lalu membasahi seragam satu-satunya yang dimiliki. Semakin tak aku sangka ketidaksempurnaan Limbok ternyata menyimpan hati yang berusaha menyempurnakan orang lain.
Tak ada satu pun umat yang tahu apa yang akan terjadi nanti. Sama halnya kepergian Limbok kian membuat kesedihan di hati kami yang menyayanginya. Canda dan tawa kepolosanya tentu tak dapat kami temui esok. Tapi Tuhan tahu yang terbaik untuk semua. Tuhan punya banyak rencana yang tak diduga umat-Nya. Kepergian Limbok membuat kami keluarganya di sekolah sadar akan hidup yang fana. Terutama aku dan sahabat-sahabatnya yang sadar bahwa secara tidak langsung Limbok mengajarkan kami arti ketulusan, kasih sayang, juga semangat untuk menggapai impian, seperti yang Limbok lakukan.

Nailatul Faiqoh adalah Mahasiswi Universitas Semarang, tinggal di Rembang.

0 komentar:

Posting Komentar