Change The Language

EnglishFrenchGermanSpainItalianDutch RussianPortugueseJapaneseKoreanArabicChinese Simplified

Senin, 02 April 2012

Perangkap

Cerpen Aditya Sylvana Day
aditya silvanaPerempuan bertubuh ramping itu berdiri di tepi sungai,…bukan..bukan hanya di tepinya. Kakinya semata kaki menjejak dalam air sungai yang deras. Pasti hujan tadi hulu. Kepalanya menunduk, rambut ikalnya tergerai menutup wajahnya dari pandangan orang seandainya ada yang melihatnya saat itu. Tapi tak ada orang lain malam ini, dia hanya sendirian di tepi sungai Bahau, di jantung Kalimantan. Matanya menatap golak arus yang kuat itu. Gemuruhnya air memenuhi telinganya, hatinya, dan rasanya. Ada selembar kertas tergenggam di tangan kanannya, tergenggam kuat, tercengkeram, segala kegeraman hatinya seakan terwakili oleh cengkeraman jemarinya pada kertas itu. Ia menerimanya tadi siang, sepucuk surat yang dibawa oleh dispatch, dibawa dari dunia luar yang riuh, untuk mengusik ketenangannya dalam belantara ini. Surat dari Mayang.

Mayang! Setiap kali Mayang menulis surat kepadanya, selalu akan ada ketenangannya yang terusik. Selama ini dia selalu mampu menepiskannya. Ya, Mayang yang selalu cemburu padanya, selalu saja mencari dan mengorek hal-hal yang diperkirakannya akan mampu menghancurkan hatinya. Mayang suka bercerita tentang kesuksesannya dalam karir atau teman-teman kuliahnya yang lain, untuk dibandingkannya dengah dirinya sendiri yang seakan tercampak dalam pekerjaan sepele dalam belantara ini. Atau tentang mantan kekasihnya, yang sekarang hidup berbahagia dengan keluarganya setelah memutuskan hubungan dengannya. Atau tentang pekerjaannya yang lama, yang bisa dianggap suatu puncak kesuksesan, yang sekarang telah diambil alih oleh Mayang. Selama ini, semua pancingan ini tak pernah benar-benar berhasil mengusiknya. Mayang tak tahu bahwa belantara dan pekerjaan sederhana sebagai peneliti lapangan justru mendatangkan kepuasan dan ketenangan hati baginya.
Tapi tidak kali ini. Surat yang terakhir ini membawa kebekuan pada hatinya. Satu pukulan telak pada hati yang sebenarnya rapuh, yang selama ini tersembunyi rapat di balik sikap tegas gagah yang tampil di luar. Suatu kabar tentang pengkhianatan. Ah, sebenarnya dia tak terkejut mendengar kabar ini. Surat Mayang ini hanya merupakan konfirmasi dari kecurigaannya yang semakin lama semakin mengusik. Tentang cinta dan kesetiaan, dari lelakinya, dunianya, semestanya.
Sudah cukup lama ia merasakan perubahan sikap Ernanda, kekasihnya itu. Bagaimana ia menghindarinya, menutup diri, dan membuat berbagai alasan untuk tidak bertetap pada komitmen cinta mereka. Kebingungan dan kepedihan itu yang mendorongnya untuk menerima tugas yang membawanya kembali ke belantara Kalimantan, ke Kayan Mentarang. Namun, ia masih berharap, karena memang belum ada kepastian dari Ernanda mengenai hubungan mereka. Ia masih berharap. Karena itu ia menyurati Mayang, bertanya pada perempuan itu tentang apa yang diketahuinya tentang Ernanda. Dan Mayang pun dengan penuh kepuasan memenuhi permintaannya dan mencari tahu
Surat Mayang ini bercerita dengan rasa sukacita yang tak tersembunyi, tentang Ernanda dan perempuan barunya. “Benar firasatmu”, kata Mayang, “Ernanda menyelingkuhimu”. “Ia punya kekasih baru,” seakan tersenyum Mayang menulis, “seorang perempuan yang lebih daripadamu dalam segala hal.”. Mayang juga menulis dengan puas bahwa sebenarnya Ernanda tak menyembunyikan hubungannya dengan perempuan itu, mereka terlihat kemana-mana bersama. Bahkan baru-baru ini, mereka menghabiskan seminggu bersama berlibur di suatu tempat yang teramat romantis. Beberapa teman kita melihat mereka, begitu laporan Mayang. Lalu Mayang bercerita dengan penuh detail yang bersemangat tentang apa yang dilakukan oleh Ernanda pada kekasihnya yang cantik itu. Dia tahu Mayang tak berdusta padanya. Perempuan itu sangat ingin menghancurkan hatinya, dan kabar tentang Ernanda adalah kebenaran yang akan menghancurkannya. Dan memang, dia tahu itu semua benar, dia merasakannya, di jantungnya, di rasanya.
Dengan pahit diremas-remasnya surat dalam genggamannya, lalu dijatuhkannya ke dalam air sungai yang dengan deras menyapunya ke hilir. Lalu, perlahan, entahlah…rasa dingin yang membekukan hatinya mereda, yang tersisa adalah nir-rasa. Sungguh, ia tak mampu lagi merasakan apa-apa. Dengan tiadanya rasa, perlahan kesenyapan semu menyelinap.
Gemuruh sungai tak lagi tertangkap telinganya, sinar perak purnama tak lagi tertangkap matanya. Seakan dia melangkah ke dalam dunia mati tanpa lebih dulu melewati gerbang kematian itu sendiri. Tanpa merasa, dia melangkah maju, menuju ke kedalaman sungai yang arusnya tengah bergelora itu. Selangkah lagi, dan lagi. Perlahan air naik ke pinggangnya, dan arusnya yang kuat menyapu kakinya, mengangkatnya, menariknya. Dan ia tak melawannnya. Biarlah…….
Tiba-tiba sepasang tangan kekar menariknya keluar dari pelukan sungai itu, menyentaknya, dan kemudian membungkusnya dalam rangkulan yang kuat. Hangat.
“Ibu! “suara yang dikenalnya. Dia tak menjawab, tak bisa, tak ingin memecah heningnya. Matanya bertemu dengan sepasang mata yang bersinar kuatir. Lukas. Asistennya.
“Ibu Desi, kita ke rumahku ya, “ kata Lukas lagi. Dia masih diam, tapi membiarkan tubuhnya dibimbing separuh diseret menuju ke rumah yang letaknya tak jauh dari tepi sungai. Lukas harus menggendongnya menaiki tangga takik ke atas rumah panggung itu, karena otaknya masih belum bisa memerintahkan kakinya untuk bergerak
Sesampai di dalam rumah, pemuda kekar itu tampak agak kebingungan melihat bajunya yang basah kuyup, tapi akhirnya membiarkannya dan hanya mencoba mengeringkannya dengan handuk dan kemudian membungkusnya dengan selimut. Lalu diambilnya secangkir arak beras ketan, dan meminumkannya. Perlahan arak itu mendatangkan rasa hangat ke perutnya dan kemudian menjalar ke seluruh tubuhnya. Dan seiring dengan rasa hangat itu, kembali juga cengkeraman dingin terasa dalam hatinya. Air matanya menetes. Tak tertahankan, isaknya pun pecah. Ditekuknya tubuhnya untuk mencoba meredakan sakit yang menikam di ulu hatinya.
Mula-mula Lukas hanya memandangnya dengan bingung, tapi kemudian lelaki itu meraihnya dalam pelukannya, memelukkan wajahnya ke dada bidangnya dan membiarkannya menangis terisak di sana. Dan ia menangis. Seperti terlepas bendungan dukanya, mengalir. Lukas memeluknya lembut, sesekali tangannya membelai rambut ikal perempuan itu atau mengelus punggungnya. Hatinya terenyuh mendengar isak penuh kepedihan itu, isak yang tak pernah diduganya dapat lahir dari perempuan tegar yang selama ini dikaguminya.
Hampir sejam berlalu, ketika akhirnya perempuan itu menarik dirinya keluar dari pelukan Lukas. Matanya yang merah bengkak menatap pemuda itu dengan penuh terima kasih dan juga malu.
“Terima kasih Lukas, “katanya, “Maaf ya, kemejamu jadi basah.”
Lukas tersenyum. “Tidak apa-apa, Ibu”
Lukas memang selalu sopan terhadapnya, selalu menyebutnya dengan panggilan Ibu Desi.
Perempuan itu, Desiree Wila Riwu, menyandarkan tubuh letihnya di dinding, lalu menekuk lututnya dan memeluknya. Dia menghela napas panjang dan menatap Lukas. Mereka duduk di lantai di atas anyaman tikar rotan. Seperti lazimnya rumah-rumah panggung di kampung Dayak ini, tak ada meja kursi di dalam rumah ini, rumah Lukas Anau. Pemuda itu duduk di hadapannya, memandangnya dengan pandangan yang sulit diartikan.
Dia pertama kali berkenalan dengan Lukas, hampir sepuluh tahun yang lalu. Ketika itu usianya baru 23 tahun, baru dua tahun lulus dari kesarjanaannya. Lulus suma cum laude dari sebuah universitas terkemuka di negeri ini. Dia menerima pekerjaan ini, yang membawanya ke jantung belantara Kalimantan ini dengan tujuan untuk memakai pengalaman dan informasi yang akan diperolehnya sebagai bekalnya untuk mewujudkan rencananya melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dunianya penuh rencana, tertata menuju jenjang kesuksesan.
Lukas sendiri waktu itu baru berumur 18 tahun, tak lulus SMA. Di kampungnya belum ada sarana pendidikan menengah atas, sehingga dia harus pergi ke ibukota kabupaten untuk itu. Namun hanya sempat setahun di sana, dia harus kembali ke kampungnya karena keluarganya tak mampu menopang kehidupannya di kota dan juga tenaganya dibutuhkan untuk berladang. Selain petani peladang, Lukas, yang badannya tegap dan jauh lebih tinggi dari rata-rata pemuda di kampungnya, terkenal sebagai pemburu yang cakap. Anjing-anjing peliharaanya terkenal tangkas dan terlatih menggiring binatang buruan. Desiree tiba di kampong itu di antara musim tanam dan musim panen, di mana kegiatan perladangan agak sela, dan Lukas dalam waktu luangnya di pekerjakan oleh lembaga tempatnya bekerja sebagai asistennya. Tugasnya adalah sebagai penterjemah, penunjuk jalan, dan pelindungnya
Sejak awal pertemuan, ada rasa saling menghormati yang tumbuh di antara keduanya. Desi tak pernah memandang rendah pada Lukas, yang kalau memakai kacamata orang kota, adalah seorang yang tak punya masa depan, seorang yang seumur hidup tak akan pernah keluar dari kehidupannya sederhana dan terbelakang ini. Dia melihat bahwa Lukas mencintai kehidupannya itu, dan bahwa cita-cita sederhananya adalah kelak akan memiliki ladangnya sendiri, ditemani oleh istri dan anak-anaknya. Walaupun hanya lulusan SMP, Desi melihat kecerdasan alami pada Lukas. Sebaliknya, Lukas tak dapat menyembunyikan kekagumannya pada perempuan kota yang tangguh ini. Biasanya, para peneliti lapangan dari kota menjadi bahan lelucon para penduduk desa karena kemanjaannya dan ketidakmandirian mereka di alam liar ini. Desi berbeda. Dia merasa nyaman di tengah keliaran ini. Perjalanan merambah rimba, menerjuni sungai, mengarungi lumpur dilakukannya dengan tanpa mengeluh. Dia pula satu-satunya peneliti dari kota yang mampu mencari dan menemukan arah dengan tepat di tengah hutan, hanya berpandukan matahari dan tumbuhan lumut pada pohon
Pasangan peneliti Desiree dan Lukas segera terkenal sebagai pasangan yang kompak dan sangat efisien. Keduanya saling mengambil pelajaran dari yang lain. Lukas mengajarinya mengenai bagaimana bertahan hidup di liarnya belantara, sementara ia mengajari Lukas berbahasa Inggris, suatu keahlian yang akan meningkatkan nilainya kelak dalam pekerjaannya sebagai asisten bagi peneliti-peneliti asing.
Rekan-rekan peneliti yang lain sering menggoda kedekatannya dengan Lukas. Memang sudah menjadi rahasia umum, bahwa antara peneliti dan asistennya yang berbeda jenis, sering terjadi hubungan yang lebih dari sebatas relasi professional. Banyak yang menduga bahwa antara dia dan Lukas juga demikian. Kesempatan bukannya tidak ada, seringkali dalam perjalanan, mereka harus menginap berdua dalam tenda di tengah hutan. Dan bukan sekali dua kali, dia menangkap Lukas memandangnya dengan tatapan yang sulit dimengerti. Namun, sedari dini Desi menegaskan bahwa dia tak akan memanfaatkan kedekatan mereka untuk sekedar pemuasan gairah. Baginya, hubungan seperti itu hanya akan terjadi bila ada cinta. Tak ada pilihan lain. Dan Lukas menghormati pendiriannya. Tak pernah sekalipun ia bertindak tak sopan, dan sejak awal hingga sekarang ia selalu menyapanya dengan sebutan : Ibu Desi.
Sepuluh tahun kemudian, dibawa oleh hati yang sarat, dia kembali ke Kayan Mentarang, dan di sini mereka bertemu lagi, duduk berhadapan, dilatarbelakangi gemuruhnya sungai Bahau. Desi menghela napasnya.
“Maafkan aku, Ukat, “ dia menyapanya dengan nama kecilnya, “entah apa yang membuatku sebodoh itu tadi. Tak pernah kuniati.”
Lukas mengangguk. Matanya tajam menatapnya.
“Surat yang dibawa dispatch tadi yang membuat Ibu resah, “katanya. Bukan pertanyaan.
Desi mengangguk.
“Berita buruk?” tanyanya. Desi menimbang sejenak, lalu mengangguk.
“Surat itu dari Mayang, temanku di Jakarta,”jawabnya.
Lalu lama dia terdiam. Dia tak terbiasa mengungkapkan perasaannya kepada orang lain. Tak terbiasa berkeluh kesah. Sikap yang membuat banyak orang menganggapnya sebagai perempuan tegar, bahkan dingin. Tapi dia tahu, ketegaran itu hanya tameng pelindung hatinya, yang sebenarnya rapuh dan telah pernah terluka parah. Tapi tameng itu tak cukup. Kali ini hatinya kembali berkeping.
“Surat ini membawa kabar tentang pengkhianatan, Ukat,”katanya. “Pengkhianatan kekasihku.”
“Itu membuatmu gelap mata?” Lukas menatap lekat matanya. “Pasti Ibu sangat mencintainya.”
Desi mengangguk. Dialihkannya matanya dari tatapan lelaki itu, dan dipandanginya lampu petromax yang digantung Lukas di tengah ruangan.
“Lelaki itu pasti seorang yang bodoh, melepaskan cintamu,”kata Lukas. “Seorang bodoh tak pantas menerima kehormatan pengorbanan hidupmu!”
Desi menggeleng.
“Kamu tak mengerti Lukas. Aku mencintainya secara total. Seluruh hidupku aku sandarkan padanya. Dan sekarang itu sudah berlalu. Juga hidupku.”
Tiba-tiba Lukas bangkit dari duduknya, lalu pindah duduk di sisinya. Tangannya meraih bahu Desi, dan kembali menariknya ke dalam pelukannya.
“Ibu dari dulu selalu begitu, selalu total dalam segala hal. Aku mengagumimu sejak dulu. Akupun sudah mengira, dalam bercinta pasti Ibu juga demikian. Aku sering membayangkan dan mencemburui lelaki mana yang akan menerima cintamu”
Desi menolehkan kepalanya menatap wajah lelaki muda itu, yang kini hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya.
“Tapi ada satu hal yang Ibu lupa. Yaitu mencintai dirimu sendiri secara total”
Hati Desi tercekat.
“Ibu ingat Sarin? Anak Pak Njau yang rumahnya paling hulu?”
“Tentu,”sahut Desi. “Bukankah dia tunangananmu dulu? Ah, aku malah belum sempat bertanya tentangnya.”
“Aku dulu mencintainya seperti Ibu mencintai kekasihmu. Seluruhnya hanya untuk dia dan tentang dia. Lalu ketika aku menemani peneliti Inggris itu ke hulu selama dua bulan,…ketika aku kembali Sarin telah mengandung anak dari teman seperburuanku.”
Dia terdiam matanya menerawang jauh. Lalu ia menghela napas dan melanjutkan ceritanya.
“Aku hampir melakukan apa yang tadi hampir Ibu lakukan. Aku masuk ke hutan berhari-hari, tanpa mengindahkan bahaya. Aku mencari gerbang kematian. Tapi, tidak ketemu.”
Lukas menoleh dan tersenyum kepada Desi.
“Mungkin karena aku terlalu ahli di hutan ya? Tapi yang jelas, kutemukan bahwa diriku masih memiliki diriku sendiri. Kupikir Sarin lah duniaku, dan bersama hilangnya, hilang juga tempat berlabuh. Tapi, tidak. Aku juga adalah duniaku. Aku berharga, kan? Ibu juga dulu yang mengajariku mengenal nilaiku.”
Kembali matanya menemukan mata perempuan itu yang masih sembab bekas tangisannya tadi.
“Aku tahu, dulu kebanyakan peneliti dari kota memandang rendah padaku yang hanya jebolan SMA. Tak bermasa depan, kan? Orang hutan. Tapi Ibu menunjukkan padaku bahwa, apa yang aku punyai, apa yang ada padaku, berarti dan berharga.”
Tiba-tiba lelaki itu menundukkan wajahnya ke arah Desi, dan dengan lembut ditautkanya bibirnya pada bibir perempuan itu. Sejenak Desi tersentak, belum pernah ia membiarkan siapapun menciumnya kecuali kekasihnya. Tapi kemudian kehangatan nafas Lukas menyelinap menghangatkan nafasnya, dan dia pun menyerahkan dirinya pada kelembutan ciuman itu.
“Kamu pun berarti, Desi. Bagiku, tapi terlebih bagi dirimu sendiri, “Lukas mendesahkan kalimat itu, ketika dia sejenak melepaskan tautan bibir mereka. Lalu dengan lembut kecupannya dialihkannya ke mata sembab perempuan itu, lalu ke lehernya, dengan gairah yang semakin membakar. Desi tak menahannya, dibiarkannya tubuhnya hanyut dalam arus yang tak kalah kuatnya dengan arus banjir sungai Bahau.
Sekian lama, ya, bahkan sepanjang hidupnya ia percaya akan kesakralan suatu percintaan. Selama ini, hanya dalam cinta ia mau menyerahkan diri terhadap gairah ragawi. Tapi cinta telah menkhianatinya berkali-kali. Ah, malam ini diserahkannya tubuhnya semata untuk gairah itu sendiri.
Dirasakann dan dinikmantinya sentuhan bibir Lukas, yang kadang lembut, kadang penuh desakan yang membara. Dibiarkannya jemarinya yang kasar itu menyusuri sekujur tubuhnya dan membangunkan jutaan sensasi.
Lukas menghentikan cumbuannya hanya untuk mengangkat tubuh rampingnya ke kasur tipis di sudut kamar sederhana itu. Lalu dengan tanpa ketergesaan melepaskan pakaian basahperempuan itu, satu persatu, sehingga dia terbaring polos di hadapan pemburu tampan itu. Lelaki itu lalu memandangi tubuhnya dengan keterpesonaan yang terbuka, tak sekejabpun matanya meninggalkan tubuhnya, sembari ia sendiri melepaskan diri dari kungkungan pakaiannya. Desi merasakan tatapan itu memuja dan mencumbui tubuhnya bahkan lebih mesra daripada cumbuan bibir dan jemarinya tadi
Malam ini, ia mencampakkan apa yang selama ini dipercayainya, mencampakkan kesakralan cinta dan membiarkan tubuhnya yang berbicara. Malam ini dia memadukan gairahnya dengan seorang lelaki yang bukan kekasihnya, bukan yang dicintainya. Malam ini tak terpikirkan konsep dosa dan tabu, apalagi kesetiaan terhadap seorang lelaki bernama Ernanda. Malam ini hanya ada Desi dan Lukas, dan sepasang tubuh yang masing-masing saling membutuhkan, terdesak oleh gairah yang tiba-tiba timbul tanpa dirancang, dan tanpa dicegah. Malam ini, Desiree mengenyahkan segala kenangan, segala keinginan yang utopis, segala rancangan yang rasional, ketika lelaki itu menyetubuhinya dan membawanya ke puncak-puncak ekstasi yang tanpa kekangan…ah.
Di subuh menjelang pagi, mereka mengulangi percintaan mereka lagi dengan intensitas yang sama, tapi dengan penuh kelembutan yang juga bernadakan kesedihan. Desi tahu, kejadian malam ini tak akan terulang lagi. Walaupun tubuhnya merasakan ekstasi dan kepuasan, ada kekosongan yang menggigit dalam jiwanya. Lukas bukan Ernanda, bukan cintanya, bukan semesta keberadaannya. Lukas tak bisa mengisi kekosongan yang menganga yang ditinggalkan Ernanda itu. Ada perasaan bersalah yang tak dapat dicegah menyelinap masuk, dia merasa seakan memanfaatkan Lukas dan gairahnya untuk mengobati hatinya yang luka.
Dalam pelukan Lukas, setelah itu orgasme yang melayangkan tubuhnya, Desi mengucapkan selamat tinggal pada pemburu gagah itu. Dikatakannya rencananya untuk kembali ke kota bersama perahu dispatch siang nanti. Diceritakannya keinginannya menjumpai Ernanda untuk meminta ketegasan tentang hubungan mereka.
“Tapi aku akan tegar, Ukat,”janjinya, “aku akan menghargai diriku lagi.”
Lukas terdiam sejenak, lalu mencium bibirnya lembut.
“Selamat jalan, Ibu, jaga dirimu, kau berharga bagiku”.

0 komentar:

Posting Komentar