Change The Language

EnglishFrenchGermanSpainItalianDutch RussianPortugueseJapaneseKoreanArabicChinese Simplified

Selasa, 03 Juli 2012

Ulang Tahun

Flash Fiction Ragil Koentjorodjati
ulang tahun jaman dulu
Ilustrasi dari 2.bp.blogspot.com

Aku punya seorang teman. Lebih kaya dariku kukira. Ia tidak kekurangan makan, tempat tidur cukup hangat saat udara malam begitu dingin. Dan keluarga yang dekat, dalam arti ia bisa memanggil saudaranya kapan pun ia membutuhkan. Dalam beberapa hal, nasibnya lebih baik dari nasibku. Hanya satu hal yang aku tidak mengerti, setiap tahun ia meminta ulang tahunnya dirayakan.
…Hari ini aku mendapat undangan untuk merayakan ulang tahunnya yang ke 42. Nasi tumpeng dengan warna kuning jeruk, beberapa potongan telor dan daging ayam, sedikit lalapan sudah tersedia di meja makan. Oh ya, ikan asin kecil-kecil cukup banyak bertebaran di sekitar tumpeng.
“Maaf Mbak, perayaannya sangat sederhana,” katanya dengan muka kemerah-merahan menahan malu. Yang aku tidak paham, ia memiliki rasa rendah diri yang luar biasa.
“Ini bancakan ya Mas,” tanyaku sedikit ragu.

Harmoni Keberagaman

Resensi Aris Hasyim*
islam moderatMenengok catatan kelam sepanjang 2011 perihal aksi barbarian yang dilakukan oleh oknum yang mengatasnamakan agama, intensitasnya boleh dibilang sangat mengkhawatirkan. Sebut saja, tragedi pembantaian warga Ahmadiyah di Ciukesik, ke rusuhan Temanggung, bom bunuh diri di Masjid Mapolres Cirebon dan hanya berselang beberapa bulan bom bunuh diri mengguncang Gereja Kepunton di Kota Solo.
Aksi-aksi keji yang dilakukan sekelompok masa yang tak bermoral itu, memperpanjang daftar kekerasan bernuansa agama di seantero negeri ini. Menyikapi perihal fenomena konflik agama di dalam masyarakat bhineka seperti di Indonesia, bangsa ini perlu mengimplementasikan kembali bahwa kemajemukan merupakan kenyataan yang tidak dapat ditolak.
Saling menghormati perbedaan baik itu di ranah agama, suku, ras, dan budaya adalah langkah konkret yang patut dijadikan sebuah pandangan hidup, cita-cita, dan sebagai dasar pijak dalam mengarungi bahtera kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, cita-cita luhur itu, kini mulai terkikis seiring dengan perkembangan zaman. Beruntung, meredupnya citacita luhur itu langsung direspons dan berusaha digelorakan kembali oleh salah satu akademisi muslim yaitu Dr. Machasin.
Machasin melalui buku bertajuk Islam dinamis, Islam harmonis ingin menegaskan kembali bahwa terorisme dan kekerasan serta mengingkari kearifan lokal dan pluralisme merupakan ‘antitesis’ terhadap islam sebagai ‘rahmatan lil’alamin’ (kasih sayang bagi seluruh alam). Manifestasi Islam yang dinamis, Islam harmonis salah satunya berpijak pada penyebaran kasih sayang.

Torsa Sian Tano Rilmafrid*

Cerita Bersambung Martin Siregar

Bagian 1.

parade orang


Tigor memang sudah sangat acap hidup dalam kondisi yang menegangkan. Anak polisi yang tinggal di pinggir pantai penuh dengan berbagai kasus kriminal penyelundupan barang antar Negara, menempa dirinya bermental baja keras tidak cengeng. Bapaknya termasuk polisi bermoral. Tidak seperti kawan-kawan sejawatnya. Walaupun polisi berpangkat rendah, tapi bisa saja hidup mewah sejahtera kaya raya, karena dengan gampang menawarkan diri menjadi pelindung para toke-toke penyelundup yang memasukan barang ilegal dari Melano ke negara Trieste. Bapak Tigor hidup seadanya, tidak mau jadi kaki tangan penyelundup hingga sering dituduh oleh sejawat maupun keluarganya sendiri dengan sebutan : Bapak Sok Moralis. Ia sama sekali tidak tergiur ikut dalam kancah kaki tangan penyelundupan antar negara.
Ketika abang sulung Tigor tamat dari SMA, secara mendadak Bapaknya minta pensiun dini. “Lebih baik aku berladang menanam semangka dan mangga golek, daripada sekantor dengan manusia manusia bejat di kantor polisi busuk itu” kata Pak Kurus. Maka sejak Tigor SMP kelas 2 catur wulan 2 tahun 1975, di tanah leluhur Pak Kurus, bapak kandung Tigor menghabiskan hari-harinya bersama istri tercinta. Bertani seperti ketika mereka masih muda.
Tentulah pelabuhan bebas Pangkoper harus menciptakan kondisi kota yang mampu memfasilitasi kebutuhan para pelaku berbagai jaringan penyelundupan. Seluruh kota penuh sesak dengan tempat-tempat hiburan semarak kegemerlapan malam, ramai gadis penghibur para pelaku bisnis penyelundupan. Tempat semua pihak yang terlibat bercokol setiap malam melakukan transaksi sambil menikmati hiburan. Mulai dari preman kelas kambing peminum tuak murah sampai kelas mafia kaliber puluhan milyar, tentara dan polisi pangkat rendah sampai ke tingkat perwira tinggi berkeliaran memenuhi seluruh sudut kota Pangkoper.

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #2

Cerita Bersambung Martin Siregar

Bagian 2.

parade orang


Bbrrraaakkk …!! Brrraaakkk… !!! pintu kedai tuak Saut Hasudungan ditendang keras preman mabok menggenggam pisau belati jam 3 subuh. “Anjing !!! kemana kausembunyikan adikmu itu.” Bardo, preman pelabuhan, membentak Saut yang baru selesai membereskan kedai tuaknya. Tanpa menjawab, Saut langsung menghujam kepala Bardo dengan parang tajam yang terletak di meja tuak yang baru bubar. Hujanan parang Saut sangat brutal dan histeris sampai 3 kali. Kedua kawan Bardo langsung menggerek Bardo terkulai ke sepeda motor, mereka lari terbirit birit membawa Bardo ke rumah sakit. Depan pintu masuk kedai tuak itu penuh berlumuran tetesan darah kental Bardo. “Nang…cepat bersihkan darah ini.” Saut Hasudungan panggil istrinya. Kemudian dia dengan langkah tenang, wajah tanpa emosi, menuju kamar mandi membersihkan kedua tangan bekas darah hasil membacok Bardo. Tingkah laku seorang god father adalah karakter yang menonjol dalam diri Saut Hasudungan. Resiko belakangan yang penting orang yang bikin persoalan segera dituntaskan. Ternyata, Tigor terlibat dalam pembakaran pukat harimau bersama nelayan pinggir pantai. Lima orang nelayan yang ditangkap mengaku bahwa perancang pembakaran pukat harimau itu adalah Tigor. Dan, dua hari polisi bersama preman gagal mencari Tigor sejak perisitiwa pembakaran pukat harimau itu. Tak seorang pun tahu.
Tiga hari kemudian pintu rumah Pak Kurus diketuk lembut jam 2 subuh. “Pak…Pak..buka pintu Pak.” Terdengar suara berbisik sayup. “Siapa itu?” Pak Kurus menuju pintu. Rupanya Tigor, naik motor matikan mesin dan berlahan masukkan motor mati lampu. “Aku mau bawa ijazah SMP dan beberapa pakaian. Di sini sudah tak aman. Aku lanjut SMA di Rilmafrid bersama Kak Dameria. Oke ..ya Pak?” Tigor pamit.
“Hati hati kau,” Pak Kurus ucapkan selamat jalan.

KEBADHEGAN HIDUP

Cerpen John Darsanto

berjalan di kegelapan


Ada dua orang pemuda tengah berjalan di sebuah jalan kecil desa. Mereka sudah bersahabat lama. Sambil berjalan mereka tengah serius membicarakan tentang siapakah dirinya di hadapan Tuhan. Dan hari itu mereka sepakat berangkat ke sebuah desa kecil terpencil di ujung jalan kecil itu untuk menemui penasehat saktinya.
Kedua pemuda itu memiliki beberapa kesamaan dan perbedaan pandangan dalam melihat eksistensi hidupnya. Kedua pemuda itu sama-sama percaya kepada Tuhan. Juga sama-sama tidak beragama. Mereka sama-sama memiliki pandangan bahwa agama itu membelenggu. Keduanya juga sama-sama menjunjung tinggi segala bentuk perbuatan baik, menolong sesama, berbagi rejeki, berprasangka baik terhadap orang lain, tekun bekerja, dan mensyukuri hidupnya.
Tetapi mereka juga memiliki beberapa perbedaan. Saat mereka berdoa, yang seorang suka dengan keheningan, gelap sunyi dan tersembunyi, tanpa sepengetahuan siapa pun. Pemuda hening itu memandang bahwa berdoa adalah komunikasi pribadi antara dirinya dengan Tuhannya. Sedang yang seorang lainnya suka dengan berekspresi, kadang doanya hanya berupa suatu nyanyian yang dia ciptakan sendiri, kadang berupa tangisan dan ratapan, kadang sekali waktu berupa teriakan saat dia senang atau pun saat protes kepada Tuhannya. Bagi pemuda ekspresif itu berdoa merupakan komunikasi emosional antara dirinya dengan Tuhannya.
Dalam perbedaan itu kedua pemuda itu saling menerima dan menghormati satu dengan yang lainnya. Akan tetapi kini mereka sedang mengalami krisis keyakinan karena perbedaan cara pandang yang menimbulkan silang pendapat serius.
Baik Si Hening maupun Si Ekspresif sama-sama meyakini bahwa diri mereka diciptakan Tuhan penuh dengan keistimewaan dan keunikan masing-masing. Sehingga Si Hening yakin bahwa tak ada sedikitpun alasan untuk tidak mencintai Tuhannya. Untuk itulah Si Hening senantiasa berbuat berbagai kebaikan kepada sesama sebagai wujud cintanya kepada Tuhannya. Sedangkan bagi Si Ekspresif memiliki keyakinan bahwa Tuhannya sangat mencintainya, sehingga dia berbuat berbagai kebaikan kepada sesama itu merupakan wujud ungkapan terima kasih kepada Tuhannya.