Change The Language

EnglishFrenchGermanSpainItalianDutch RussianPortugueseJapaneseKoreanArabicChinese Simplified

Minggu, 20 Mei 2012

Pemahaman Keliru Tentang Lirisisme Dalam Prosa

Oleh Richard Oh
prosa lirisPerkembangan sastra dalam negeri saat ini, menurut saya, cukup memprihatinkan karena penekanannya lebih pada sintaksis ketimbang integritas dan keunikan ekspresi. Maka, sering kita baca betapa dahsyat Cala Ibi karena pengungkapannya yang unik. Ia bahkan dianggap memperbarui bahasa dan lain-lain. Kenyataannya, setelah membaca beberapa halaman novel ini, pembaca akan menemukan paragraf demi paragraf sarat purple prose. Saya jadi ingat kata-kata Virginia Woolfe “mannered, self-conscious”. Kalimat yang seharusnya tak perlu kompleks dan bisa ditulis sangat sederhana dipuisikan, dinyanyikan, dibuat keruh serasa pembaca senantiasa dibombardir oleh aliterasi. Rima haram bagi novelis di mana saja karena ia menjadi distraksi tersendiri dan mengganggu laju arus cerita. Metafor ataupun simbolisme yang dalam kamus seorang penulis seharusnya diungkapkan untuk memperkuat makna keseluruhan satu karya-seperti kejadian di awal bab novel Anna Karenina di mana seorang wanita mencampakkan diri ke dalam rel kereta meramal kematian Anna Karenina sendiri pada akhir novel- disalahpahami oleh penulis Cala Ibi sebagai kreativitas dalam berbahasa. Penggalan ini saya ambil secara acak dari novel itu.
Bapakku bening air kelapa muda. Ibuku sirup merah kental manis buatan sendiri. Aku Bloody Mary. Jumat malam alkoholik, happy hours, Jumat pagi robotik. Kadang aku minum jus tomat, dan merasa sehat. Kadang berseru alhamdulillah, ini hari Jumat-atau Ahad, Rabu, hari apa saja. Kor lepas dengan beberapa temanku di sore-sore hari, seraya aku membayangkan gelas berkaki tinggi dan hijau margarita dan kristal garam berkilau di bibir gelas, seperti sesosok perempuan, datang dari kejauhan.
Bayangkan ini hanya satu penggalan kalimat. Begitu padat dengan informasi, berputar-putar tidak menuju satu tujuan yang memberikan pencerahan makna. Apa artinya “Bapakku bening air kelapa muda”? “Ibuku sirup merah kental manis” saja sudah membingungkan, tetapi kemudian ditambah dengan “kental manis buatan sendiri”. Dan, apa pula artinya “Jumat pagi robotik”? Ada kesan, dalam menulis kalimat-kalimat ini penulis ingin memaksakan makna ke dalam tiap baris prosa, seperti seorang penyair karena keterbatasan ruang memadatkan larik dengan makna. Kalimat demi kalimat kalau dibaca bagaikan puisi sahut-menyahut, namun jadi sangat mengganggu kelancaran cerita novel ratusan halaman ini selain menambah kelelahan. Di sini terlihat jelas penulisnya tidak paham sama sekali penggunaan puisi dalam penulisan novel.
Sebelum meninggal, Italo Calvino menulis buku tipis Six Memos for the New Millenium. Ia menurunkan kepada penulis generasi penerus enam hal penting tentang penulisan, elemen-elemen pembangun sebuah karya sastra. Dia membicarakan tentang lightness, ringan yang membebaskan tapi berbobot, dengan mengutip Paul Valery, “One should be light like a bird, and not like a feather.” Dia juga bahas quickness, kegesitan prosa, dengan mengambil contoh keefektifan struktur sebuah dongeng rakyat. Kita bisa memahami makna sebuah dongeng rakyat dengan begitu mudah karena rentetan cerita bergerak maju cepat tanpa hambatan detail yang mengganggu. Dia membahas exactitude, presisi bahasa ungkapan, dan visibility, kekuatan visual dalam prosa. Dia kemudian mengupas multiplicity, yaitu suatu karya seni harus punya ambisi dan mencakup semua seperti pada novel ambisius Flaubert, Bouvard et Pecuchet, yang mencoba menuangkan semua pengetahuan dunia dalam satu buku. Untuk menulis buku ini, Flaubert membaca ribuan buku dalam pelbagai bidang disiplin.
Dengan tolok ukur Calvino ini, banyak aspek dari Cala Ibi yang perlu dipertimbangkan. Ia terlalu lamban, maka kurang quickness, seperti sebuah dongeng rakyat. Ia kurang lightness karena prosanya tak mengalir. Mungkin cukup kaya dengan visualisasi, tapi kurang exactitude sebab kreativitas dalam kata tak berarti presisi kata. Ia terlalu memikirkan permainan kata dan irama daripada ketepatan frase bagi suatu ungkapan. Untuk aspek multiplicity, di sini mungkin terlihat cakupan ambisinya, tapi tetap miskin karena kurang konsisten. Kritikus yang mencintai permainan kata dan kekayaan sintaksis memuji karya ini karena merasa novel ini telah memperbarui bahasa dengan padatnya metafora dalam kalimat-kalimat, tapi membutakan mata memeriksa integritas ungkapan yang memperkukuh makna utama novel itu.
Namun, tak satu pun kritikus yang dapat mengungkapkan secara konkret apa sebenarnya yang ingin disampaikan novel ini. Apakah lantas kita juga harus menyukainya dengan cara pembacaan yang dianjurkan oleh Karr terhadap puisi The Waste Land, yaitu menikmatinya segmen demi segmen tanpa terlalu memikirkan kesempurnaan struktur keseluruhan. Untuk bisa menikmati sepenuhnya, kita perlu menilai segi presisi bahasa, problema overwriting, dan kelancaran cerita yang terhambat oleh metafora yang berkelebat dan saling tubruk tanpa menciptakan makna, mengevokasi mood, atau aksen yang jelas. Sangat berbeda dengan The Waste Land atau Ulysses yang, walau sangat susah dipahami secara keseluruhan, bisa dinikmati dalam momen epiphany demi epiphany. Diambil dari makalah “Siapa Takut, Nirwan Dewanto?
Mengembangkan Sastra dengan Merebutnya dari Para Ahli Sastra”
pada sidang pleno Konferensi Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia di Manado, 25-27 Agustus 2004.

0 komentar:

Posting Komentar