Change The Language

EnglishFrenchGermanSpainItalianDutch RussianPortugueseJapaneseKoreanArabicChinese Simplified

Rabu, 06 Juni 2012

Ada Bayangan Cinta Dochi

Cerita KauMuda Bangkit G. Saputra
Editor Ragil Koentjorodjati

cerpen remaja


Denting bel berbunyi nyaring, semua siswa serentak masuk ke dalam kelas. Rani seorang siswa cantik yang merupakan bidadari terindah di kelas atau bahkan di sekolah merasa bosan karena setiap melirik ke samping kanan belakang tempat duduknya pria itu selalu menatapnya dengan senyuman. Tak pernah berubah dari hari ke hari.
Pria itu bernama Dochi. Seorang siswa yang sama sekali tidak menunjukkan aura ketampanan. Sangat kurang memperhatikan penampilan. Dia selalu membawa buku ke mana-mana, dengan mengenakan kacamata tebal menjadi ciri khasnya sehari-hari. Bagi Rani tak ada yang menarik dalam diri Dochi. Memang tak pantas jika membayangkan Dochi bersanding dengan Rani. Membayangkannya saja sudah tidak pantas, namun itulah yang selalu menghiasi benak Dochi. Perasaan yang tak dapat ia hindari, walau sesungguhnya ia ingin menghindarinya.

Pelajaran berhitung menjadi kegemaran Dochi sejak kecil, sangat mengasyikan jika melihat angka-angka itu bertaburan di pikirannya. Namun akhir-akhir ini berbeda, dia menjadi seorang penyamun yang gemar menulis kata-kata indah. Bidadari itulah yang menjadi objek inspirasinya. Dia tak berharap untuk mengatakan dan menyatakan perasaannya, sebab Dochi sudah nyaman dengan menjadi seorang pecinta di belakang layar. Begitu banyak syair dan puisinya tersusun rapi. Berjuta kata teruntai dengan indah, hanya teruntuk bidadari hatinya itu. Namun hingga kini keberanian itu belum menghampiri. Cintanya terpendam rapat bersama karya-karya indahnya.
Pagi itu kelas di awali dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Siswa dianjurkan satu persatu untuk maju ke depan kelas dan membacakan puisi karya sendiri. Kali ini tiba giliran Dochi, tak sulit untuknya. Tentu, karena dia punya begitu banyak puisi. Tinggal pilih salah satu yang terbaik saja. Dia membacakan puisi karyanya yang berjudul “Syair Separuh Malam”. Dochi membawakan dengan penuh penghayatan dan menunjukkan ekspresi yang begitu dalam. Tak sengaja hati Rani bergetar, entah kenapa dia merasa hidup dan memiliki peran dalam syair itu. Mata Dochi sempat memandangnya namun tak lama dia mengalihkannya. Namun cukup jelas bagi Rani, puisi itu tercipta untuknya.
Saat istirahat makan siang Rani sengaja menghampiri Dochi.
“Puisi kamu bagus, aku tak pernah menyangka dalam diri kamu bersemayam seorang seniman kata-kata,” puji Rani tersenyum manis.
Dochi merasa kaget, senang, dan tak pernah terpikirkan bahwa seorang Rani akan menghampirinya untuk memuji puisinya. Puisi yang memang bisa tercipta begitu dalam karena sosok yang ada di depannya saat ini.
“Oh.. i.. iya.. terima kasih Ran, puisi kamu juga bagus,” sambung Dochi. “Aku membuat puisi itu untuk…”
Belum habis Dochi berkata Rani sudah dipanggil oleh temannya. Rani pun berlalu tanpa tahu apa yang ingin Dochi katakan. Dochi memandangi Rani penuh cinta, setiap langkahnya tak luput dari pandangan Dochi. Seakan tak pernah hiraukan kenyataan, perasaan itu semakin besar dan berkembang. “Biarkan ini kunikmati, walau hanya mimpi. Kau akan tetap di hati,” ucap Dochi dalam hati.
Malam itu hujan deras sekali. Angin berhembus tak karuan semakin membuat hati tak tenang. Dochi yang tinggal hanya dengan ibunya merasa was-was. Terang saja dia merasa begitu, karena kondisi rumahnya yang memprihatinkan. Sebuah gubuk dari bambu yang sudah reot. Redup, karena hanya ada lilin kecil sebagai satu-satunya penerangan. Tidak masalah untuk Dochi karena dia sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu. Dia dan ibunya sudah bersyukur masih bisa makan sehari-hari. Hujan semakin deras dengan diselingi halilintar yang mulai memekikkan. Sembari belajar dia memperhatikan sekitar. Bagian yang bocor sudah ditadah dengan ember. Namun dia melihat dinding bambunya bergoyang. “Tuhan, lindungi aku dan ibuku. Kami lemah tanpamu. Engkau maha pengatur segalanya dan maha berkehendak,” doa Dochi.
Dochi semakin tak tenang untuk belajar. Angin kencang dan derasnya hujan begitu gaduh. Dia menutup buku dan menghampiri ibunya di kamar. Saat membuka pintu dia terkejut, ibunya tergeletak lemah di lantainya yang berupa tanah. Sontak Dochi segera membopong ibunya ke tempat tidur.
“Ibu.. ibu kenapa? Bangun ibu..,” ujar Dochi panik.
Ibunya tak bergerak, semakin membuat Dochi khawatir. Mata Dochi berair, ibu Dochi memang sudah lama sakit. Penyakit asmanya tak kunjung sembuh. Karena hanya diobati seadanya, perekonomian keluarganya sejak dulu tak bisa berbicara banyak. Kali ini tak pernah terbayangkan Dochi. Dadanya semakin sesak, ia mengambil minyak angin. Dioleskan di jari lalu dia dekatkan dengan hidung ibunya. Dochi berharap ibunya hanya pingsan dan akan segera sadar. Beberapa saat setelah itu ibu Dochi bergerak. Matanya perlahan terbuka. Dochi merasa begitu lega.
“Ibu.. bangun ibu.. Dochi takut. Ibu tidak apa-apa kan?” ucap Dochi sesenggukan. Ibunya tersenyum kecil, lalu berbicara dengan terbata.
“Dochi, ibu tak apa. Terima kasih..”
Dochi memeluk erat ibunya, air matanya mengucur deras. Dia begitu takut jikalau ibunya pergi.
“Dochi.. kamu baik-baik ya, Ibu sudah tak kuat. Hapus air mata kamu. Senyum kamu bahagia ibu,” bisik Ibu lirih.
“Tidak ibu.. Ibu pasti kuat, Dochi ingin sama-sama dengan Ibu. Dochi belum bahagiakan ibu. Dochi ingin..”
Mata ibu terpejam perlahan, tubuhnya melemah.
“Ibu.. Ibu… bangun ibu.. Ibu….” Dochi berusaha membangunkan ibunya. Upayanya tak berhasil, takdir sudah tertulis, ibu Dochi telah pergi. Satu-satunya orang tercinta yang Dochi miliki. Kasih sayang terbesar yang dia dapatkan selama ini. Ingin sekali ia membalasnya dengan mewujudkan mimpi dan cita-citanya.
Hingga kini Dochi tak pernah berhenti untuk tekun dan gigih dalam belajar. Semua dilakukan semata karena ingin menggapai mulianya keinginan Dochi. Membuat ibunya hidup berkecukupan dan bahagia. Kini semua berlalu, dia harus menghadapi hidup ini sebatang kara. Ibunya pergi dengan senyuman bangga, seakan berbisik “Aku bahagia nak, kau permata terindahku. Jangan putus asa, gapai inginmu. Ibu selalu di sisimu, setiap saat dan setiap waktu.”
Esok hari di kelas, seorang siswa memberitakan bahwa ibu Dochi telah meninggal dunia. Sejenak terasa hening, seisi kelas menunduk dan mendoakan beliau. Rani merasa iba, dia seakan merasakan kepahitan Dochi. Teman Dochi bercerita padanya bahwa Dochi sejak kecil hidup hanya dengan Ibunya. Ayahnya meninggal karena kecelakaan. Itulah yang membuat Dochi giat dalam belajar. Menjadi kurang pergaulan karena saking fokusnya pada bidang akademik. Dia berkeyakinan bahwa jika ingin hidup sukses harus jadi orang pintar.
Sepulang sekolah Rani mengunjungi rumah Dochi. Teman-temannya tidak ikut karena saat itu hujan begitu deras, sedangkan rumah Dochi terletak di pelosok desa. Namun Rani tak menghiraukan itu. Dia sudah bertekad ingin mengunjungi Dochi. Dengan petunjuk salah satu teman sekelasnya, akhirnya Rani sampai di rumah Dochi. Pintu diketuknya berulang kali, namun tak ada jawaban. Tak sengaja pintu terdorong olehnya. Rumah ini terlihat sangat sepi, berdebu, dan begitu sederhana karena tak ada perabot semacam kursi tamu, meja, dan sejenisnya. Dilihatnya dalam bilik kamar sesosok pemuda sedang duduk menunduk tak bergerak. Didekatinya perlahan, semakin dekat ia menuju sosok itu.
“Dochi..,” panggil Rani sembari menyentuh pundaknya. Dochi menengok, matanya sembab, berkantung karena kurang tidur. Rani memandanginya begitu iba. Dochi tak berkata apapun. Pandangannya kosong lalu menunduk kembali dan memandangi ranjang ibunya.
Rani mengerti apa yang dirasakan Dochi. Sewajarnya begitu, karena kepergian ibunya adalah sebuah pukulan yang begitu berat untuk seorang Dochi. Sesaat pandangan Rani tertuju pada lembar-lembar kertas yang tertempel di dinding kamar reot itu. Dihampirinya salah satu lembaran, dia mengenal tulisan itu. Puisi Dochi waktu itu di kelas. “Syair Separuh Malam”. Jelas terbaca syair itu:
Kudengar samar nyanyian malam
Mengalun syahdu tenangkan kalbu
Semenjak awal kala perkenalan
Terbesit rasa yang tak menentu Malam ini, bulan dan bintang berteman gerimis
Menyuguhkan irama senandung nan ritmis
Semua tentangku tak senada inginmu
Kecewa dan sedih tak henti mengiringi
Kau dengarkan hati terus bernyanyi
Bersama lagu nuansa egois
Tentang janji yang tak berujung manis
Kupersembahkan syair separuh malam
Pada sucinya hati wahai adinda
Kutanyakan pada Pemilik Alam
Adakah saat untuk berjumpa
Mengulas rasa, cinta, dan cita
Membendung rindu, kesah, dan pilu ..
Hanya dengan syair separuh malam
Ku mencintamu dalam-dalam ..

Di bawahnya ada lukisan sketsa gambaran tangan Dochi. Gambar itu tak lain adalah Rani. Sesosok gadis sedang melangkah sembari menengok ke belakang dengan senyum manis. Begitulah Dochi menuangkan perasaannya pada Rani. Tak hanya dengan puisi dan lukisan sederhana. Di sisi lain dinding tergantung serangkaian bunga. Teruntai indah membentuk sebuah nama. RANI.
Rani kagum dan tak menyangka bahwa Dochi begitu mendambanya. Perasaan yang sudah terasa saat di sekolah. Rani merasa sangat berdosa jika menghindari kata hatinya. Secara tidak sadar dia juga menyayangi dan mengkhawatirkan Dochi. Dipeluknya Dochi dari belakang. Penuh cinta dan sejenak menjadi penghapus pilu Dochi. Serasa tak percaya Dochi merasakan hangatnya pelukan Rani.
“Ran.. Rani.. kamu. Aku..,” ujar Dochi terbata.
“Jangan sedih lagi Dochi.. Aku di sini untuk kamu.” sahut Rani. Inikah rencana indah Tuhan? Inikah jawaban dari penantian pajang? Tuhan selalu menyelipkan pelangi setelah hujan badai. Dukanya kini sedikit terbagi. Karena hari-harinya dilalui bersama Rani, bidadari yang selalu diimpikannya.
Tiba saatnya hari kelulusan. Dochi menjadi siswa dengan nilai terbaik. Seluruh warga sekolah bangga dengan prestasinya. Riuh tepuk tangan menghiasi hari itu. Rani memberinya kecupan tanda bangga. Dengan wajah sedikit memerah Dochi merasa senang. Dia menatap langit, ada bayangan ibunya tersenyum manis. Terima kasih Tuhan, jaga ibuku agar selalu didekatMu.
Dochi mendapatkan beasiswa dan berkesempatan melanjutkan ke perguruan tinggi negeri terbaik di kotanya. Namun dia harus terpisah dengan Rani. Sebab orang tua Rani berkehendak ingin menyekolahkan putri tunggalnya itu di luar negeri. Hari itu sekaligus menjadi hari perpisahan Dochi dan Rani. Seakan tak mau berpisah, Rani memeluk erat kekasihnya itu. Dochi menggenggam jemari Rani. Diberikannya sebuah kotak kaca yang berisi patung romeo dan juliet. Kotak itu bila dikocok akan terlihat seperti ada hujan salju di dalamnya. Pemberian sederhana yang akan selalu dikenang Rani.
Sebelum berpisah Dochi meyakinkan Rani, “Percayalah pada kekuatan dan keindahan cinta, kita pasti bersama lagi,” ucap Dochi sembari menatap Rani. Dengan lirih Rani mengiyakannya. Dia tak sanggup menahan kepedihannya. Namun ini kenyataannya. Suratan yang harus dihadapi oleh pasangan yang saling mencinta itu. Rani tak bisa merelakan untuk berpisah.
Esok pagi Rani dan keluarga sudah harus bertolak ke bandara. Karena takut terlambat Ayah Rani menyuruh sopirnya supaya lebih kencang melajukan mobilnya. Rani masih sedih sembari memandangi kotak kaca romeo dan juliet. Tidak sadar dia tertidur pulas dengan memeluk kotak itu.
Braak! Mobil Rani menabrak seseorang.
“Astaga, sudah Pak.. lari saja. Jalan sepi, kita sudah tak punya waktu.” kata Ayah Rani.
“Ttt.. tapi Pak..,” sahut sopir panik. Ayah Rani tak peduli dan menegaskan untuk segera beranjak pergi. Jam keberangkatan pesawat sudah dekat.
Sesampai di bandara Rani terbangun dari tidurnya. Segera menuju pesawat dan berangkat ke Prancis. Dalam perjalanan Rani selalu memikirkan Dochi. Ingin sekali menghubunginya lewat telepon, namun tak memungkinkan karena ia sedang di dalam pesawat. Dia lupa memberi kabar bahwa dia sudah berangkat.
“Pasti Dochi menunggu-nunggu kabar dariku, maafkan aku Dochi,” gumam Rani.
Malam yang indah, Suasana Paris sungguh romantis. Rani menunggu-nunggu telepon dari Dochi. Sejak siang tadi Dochi tak bisa dihubungi. Situasi yang tidak biasa sebelumnya. Salju turun perlahan, terlihat sangat indah. Sebuah mahakarya dari Tuhan. Tubuh Rani sedikit menggigil namun dia merasa hangat karena membayangkan satu nama, Dochi.
Tiba-tiba ada sosok pemuda yang memeluk Rani dari belakang. Rani terpejam dan merasakan aroma tubuh yang tak asing baginya. Pemuda itu berbisik,“Jangan sedih lagi Rani.. Aku disini untuk kamu,” sembari mendekap erat Rani.
Pyaarrr…!! Kotak kaca itu terlepas dari genggaman Rani, jatuh dan pecah. Dochi melepaskan pelukannya perlahan. Rani sangat bahagia, matanya berkaca-kaca karena kehadiran Dochi. Tubuh Dochi memudar, menjadi ringan seakan ingin melayang. Rani tak percaya apa yang dilihatnya.
“Dochi.. kamu mau k emana? Jangan tinggalin aku..,” bujuk Rani penuh harap.
“Aku cinta kamu Rani.. akan selalu hidup di hati kamu,” suara Dochi menggema. Air mata Rani tumpah seiring berlalunya bayangan itu. Bayangan cinta Dochi.
Di dalam kamarnya Rani semakin bingung, ada apa sebenarnya. Nyatakah tadi yang dialaminya. Terbesit dalam pikirnya, dia segera menghubungi teman sekolahnya yang dekat dengan Dochi.
“Halo Fadli, ini aku Rani. Kamu tahu di mana Dochi?” tanya Rani penuh rasa ingin tahu.
“Tut.. tut.. tut..,” panggilan tiba-tiba terputus. Rani segera menelpon ulang. Sebelum menekan tombol panggil, ada pesan singkat masuk: Aku tak sanggup mengatakannya, Dochi telah tiada. Saat ini aku di depan makamnya. Maafkan aku Rani.

0 komentar:

Posting Komentar