Change The Language

EnglishFrenchGermanSpainItalianDutch RussianPortugueseJapaneseKoreanArabicChinese Simplified

Senin, 08 Oktober 2012

Bagaikan Nyala Api

Cerpen Kenzarah Zhetira Alam
jalan kenangan

“Lihatlah sungai yang mengalir itu,” kata sahabatku suatu hari di bulan Agustus tahun 1930. Saat itu kami sedang duduk di tepi sungai yang memisahkan desa kami dengan desa sebelah. Aku mengalihkan perhatianku dari sekumpulan anak seusia kami yang berenang-renang dengan gembira—dengan menggunakan batang bambu milikku dan sahabatku sebagai pelampung—lalu memandang wajah sahabatku. Mata cokelatnya bersinar terang ketika aliran sungai memantulkan cahaya matahari ke wajahnya di siang yang terik itu. Matanya indah, namun lebam kemerahan di kelopak mata kanannya membuat bola mata kanannya yang indah itu sedikit tersembunyi.
“Pada tahun 1582, Oda Nobunaga memerintahkan Toyotomi Hideyoshi untuk mengambil alih Benteng Takamatsu1 ,” katanya lagi dengan ekspresi serius. Aku tersenyum saat mendengarnya mulai menceritakan lagi tokoh-tokoh yang dikaguminya. “Toyotomi Hideyoshi dibekali 20.000 pasukan, sementara pihak lawan hanya mempertahankan bentengnya dengan lima ribu samurai.” Dia sudah akan melanjutkan, tapi aku menyelanya.
“Tentu saja Toyotomi Hideyoshi menang,” kataku. “Itu kemenangan yang mudah.”
Sahabatku tersenyum. “Dia hampir mengalami kekalahan,” katanya.
Aku terkejut mendengarnya.
“Benteng Takamatsu terlindung oleh sungai, danau, dan rawa di sekelilingnya. Itu menghambat pergerakan pasukan Toyotomi Hideyoshi. Ketika prajurit dari pihaknya mulai berjatuhan, Toyotomi Hideyoshi menyadari bahwa taktik biasa tak akan berguna. Dia pun memutar otak, dan mendapatkan sebuah pencerahan tentang bagaimana cara membuat kekuatan yang dimiliki Benteng Takamatsu menjadi kelemahannya. Jika sungai melindungi Benteng Takamatsu, mengapa dia tidak menjadikan sungai itu sebagai senjata? Dia pun membangun sebuah bendungan, membelokkan aliran sungai, dan menghancurkan benteng itu dengan serangan air. Benteng Takamatsu akhirnya berubah menjadi danau buatan dan menyerah tidak lama setelah itu.”
Aku mendengar ceritanya dengan mata berbinar dan mulut menganga. Augusto selalu menceritakan kisah-kisah hebat padaku, karena saat itu aku belum bisa membaca. Tapi, di antara banyak tokoh hebat yang diceritakannya padaku, Toyotomi Hideyoshi telah menjadi semacam idola bagi kami. Terutama bagiku, karena aku menyukai beberapa kemiripan kami. Kami sama-sama merupakan anak petani miskin, sama-sama ditinggalkan satu orang tua (meskipun Toyotomi Hideyoshi ditinggalkan ayahnya sementara aku telah ditinggal ibuku), dan sama-sama bertubuh pendek.
Augusto mengalihkan wajahnya dariku dan menatap sekumpulan anak laki-laki yang masih berenang dengan tatapan penuh kemarahan. Aku mengikuti jejak Augusto dan menatap kumpulan anak-anak itu. Mereka dulu temanku. Namun, setelah aku memutuskan berteman dengan Augusto, mereka mulai menjauhiku. Mereka bahkan memukuliku saat aku mulai membela Augusto ketika mereka mengeroyok Augusto yang, meskipun tubuhnya lebih tinggi dari kami anak-anak pribumi, nyalinya tidak ada seujung kuku kami.
Hari itu mereka juga mengeroyokku dan Augusto. Awalnya kami berdua turun ke sungai dengan suka cita sambil membawa sebatang bambu yang telah dipotong oleh ayahku. Namun, belum sempat kami menggunakan potongan bambu itu sebagai pelampung, sekumpulan anak nakal itu menghadang kami. Mereka merebut paksa bambu kami dan menghajar kami ketika—dengan keras kepala—kami mencoba mempertahankan potongan bambu yang berharga itu.
Setelah itu aku dan Augusto hanya bisa duduk di tepi sungai dan memandang kebahagiaan anak-anak itu dengan iri. Augusto berdiri dan berjalan pulang beberapa saat kemudian. Aku mengikuti di belakangnya.
“Toyotomi Hideyoshi mampu menjadikan kekurangannya menjadi kelebihan, dan kelebihan lawan menjadi kekurangan,” katanya. Menyadari dia masih melanjutkan ceritanya, aku berlari kecil di sampingnya untuk menyamakan langkah kami, seperti seekor anjing yang setia. “Aku pun, suatu saat nanti, ingin sepertinya.”
Aku tersenyum saat menyadari bahwa sebenarnya dia tengah berbicara tentang anak-anak itu.
“Tentu saja kau bisa,” kataku dengan lembut; masih tersenyum.
Wajah Augusto sedikit lebih cerah setelah mendengarnya. Dia menyeringai, tapi lalu meringis ketika rasa sakit menyerang bibirnya yang robek. Aku pun tertawa.
“Berhenti tertawa!” bentaknya, tapi aku tahu dia tidak sungguh-sungguh, maka aku tidak menghentikan tawaku. Baru kusadari bahwa wajahnya yang lebam di sana-sini membuatnya tampak konyol. Augusto menatapku sambil mendengus. Tanpa peduli rasa sakit yang menyerang bibirnya, dia pun ikut tertawa bersamaku, sambil meringis dan memegangi lebam-lebam di wajahnya.
***
Penjajahan Portugis berakhir pada abad ke 16. Masa pendudukan Belanda dimulai. Setelah kekalahannya melawan Belanda, tidak semua bangsa Portugis meninggalkan Bumi Nusantara. Banyak yang memilih untuk menetap di beberapa daerah, sementara sisanya sengaja dibawa ke Batavia sebagai tawanan perang setelah VOC menaklukan Malaka pada tahun 1641, termasuk leluhur Augusto.
Augusto dan ayahnya datang ke desaku sekitar dua tahun sebelum hari ketika kami duduk di tepi sungai dengan lebam di sana-sini. Desaku berada jauh di pedalaman gunung dan sangat sulit diakses dari luar, sehingga, meskipun terdapat beberapa rumah orang Belanda di desa yang lebih rendah, hari ketika Augusto dan ayahnya datang adalah hari pertama bagiku dan penduduk desa melihat orang-orang dengan kulit terang. Kabar tentang orang-orang kulit putih yang mengambil alih tanah rakyat dan memaksa pribumi bekerja untuk mereka telah mencapai desa jauh sebelum Augusto dan ayahnya, João de Fretes, tiba. Hal itu membuat mudah bagi kami untuk salah paham dan mengira bahwa ayah Augusto adalah salah satu dari orang-orang kulit putih biadab itu.
Ayah Augusto membeli tanah dari seorang tuan tanah di desa kami dan mendirikan rumah di sana dengan meminta bantuan penduduk desa. Ayahku termasuk salah satu orang yang membantunya mendirikan rumah yang kelak akan menjadi rumah terindah dan termegah di desa kami.
Suatu malam seseorang mengetuk pintu rumah ayahku yang reyot. Aku dan ayahku sedang bersiap-siap tidur saat itu. Begitu mendengar suara ketukan di pintu, dengan sigap dan secepat kilat aku melompat dari dipan dan berlari untuk membuka pintu itu, karena jika seseorang di balik pintu itu mengetuk lebih lama dan lebih kuat, tak diragukan lagi pintu itu akan lepas dari engselnya.
Aku membuka pintu itu, terkejut mendapati dua orang asing berkulit putih sedang berdiri di depanku, satu orang dewasa sedangkan yang lainnya adalah anak-anak. Aku menatap mata cokelat dari orang kulit putih yang masih anak-anak, yang kelak kuketahui bernama Augusto de Fretes. Dia menatapku sekilas, tapi lalu menunduk. Ayah telah berdiri di belakangku dan membuka pintu lebih lebar agar bisa melihat siapa tamu yang datang. Aku melihat keterkejutan yang sama dari matanya saat dia melihat kedua tamunya.
Malam itu ayah Augusto mengutarakan keinginannya untuk meminta bantuan ayahku mendirikan rumahnya, sementara aku dan Augusto hanya duduk diam. Malam itu pun, karena hari telah larut dan terlalu berbahaya untuk berjalan menerobos kegelapan di tempat yang didominasi pepohonan, ayahku menawarkan kepada ayah Augusto untuk menginap. Ayah Augusto menyetujuinya. Aku dan Augusto hanya diam, beberapa kali kami saling mencuri pandang. Bahkan saat itu pun, ketika kami hanya duduk diam dan saling mencuri pandang, aku tahu kami akan menjadi teman suatu hari nanti.
Hari itu tiba kurang dari setahun kemudian, ketika rumah besar itu selesai dibangun, dan mereka berdua meninggali rumah barunya. Entah apa yang dipikirkan ayah Augusto, tapi saat itu dia memintaku dan ayahku untuk tinggal bersama mereka di rumah besarnya. Ayah meminta waktu untuk memikirkannya. Dia tidak mendiskusikannya padaku, tapi keesokan harinya kami telah tinggal di sebuah kamar di rumah besar itu. Sejak itu ayahku menjadi pelayan di rumah besar itu, mengubah statusku dari anak seorang petani miskin menjadi anak seorang pelayan di rumah besar. Aku tidak tahu mana yang lebih baik dari keduanya.
Aku pun mulai menjalankan tugas sebagai anak pelayan setelah itu. Pada pagi hari, aku menghidangkan sarapan, membersihkan rumah, dan menyeterika pakaian Augusto dan ayahnya. Sementara aku bekerja, Augusto hanya duduk di dekatku sambil membaca buku-buku milik ayahnya. Aku tahu dia ingin berbicara denganku dan aku pun ingin bicara dengannya. Akan tetapi, tidak ada satu pun dari kami yang bersedia memulainya.
“Kau tahu siapa sebenarnya yang ingin kita tinggal di tempat ini?” tanya ayahku suatu malam. Kami berbagi selimut di kasur yang sama. Aku membuka mataku dengan enggan dan melihat wajah Ayah yang hanya terlihat sebagai siluet hitam. “Augusto yang menginginkannya,” katanya. “Dia tidak bisa membayangkan anak sekecil dirimu tidur kedinginan setiap malam.” Ayah tertawa sesaat, sementara aku terdiam sambil memikirkan kata-katanya. “Ya, rumah kita memang punya banyak lubang, angin malam bisa menerobos masuk dengan leluasa.” Ayah mengubah posisi tidurnya sehingga wajahnya bisa menghadap wajahku. “Tuan Fretes yang menceritakannya padaku tadi pagi.” Ayah lagi-lagi tertawa kecil. “Menurutku, mungkin Tuan Augusto hanya ingin berteman denganmu,” katanya. Selama beberapa saat Ayah terdiam, sehingga hanya suara nafas kami yang terdengar kala itu, sementara aku meresapi kata-katanya. “Selain itu… bukankah di sini sangat nyaman?” Ayah memelukku.
Malam itu aku memikirkan semua kata-katanya. Jantungku berdebar-debar memikirkan, jika esok aku harus menghadapi Augusto, apa yang harus kukatakan padanya.
Aku menuangkan teh untuk Augusto keesokan harinya. Sementara Augusto menyeruput teh itu dengan perlahan, aku tetap berdiri mematung di sisinya.
“Apakah terlalu panas?” tanyaku saat dia meletakkan cangkir itu di meja. Augusto memandangku dengan wajah memerah. Dia menggeleng.
“Apakah terlalu manis?”
Augusto tidak menjawab. Aku melihat Ayah dan Tuan Fretes di seberang ruangan, mereka memandang kami berdua dengan senyuman tipis di bibir mereka. Ketika kembali mengalihkan pandangan ke Augusto dengan gugup, aku terkejut melihatnya tengah tersenyum.
“Teh ini tidak terlalu panas maupun terlalu manis,” kata Augusto. Itu pertama kalinya aku mendengar suaranya. Aku membalas senyumannya.
“Terima kasih,” kata kami bersamaan, lalu mendengus tertawa sedetik kemudian.
***
Asap membubung tinggi dari bagian belakang kediaman Tuan Fretes. Bau asap menyebar di udara. Aku dan Augusto berjalan terseok-seok dengan wajah penuh memar, senyuman menghilang dari wajah kami, sementara rasa sakit semakin terasa. Sesekali Augusto mendesis menahan sakit, begitu pun aku. Beberapa saat kemudian kami tiba di belakang kediaman Tuan Fretes, di mana Ayah dan Tuan Fretes sedang membakar sampah-sampah kering. Api berwarna jingga berkobar-kobar di hadapan mereka.
“O Pai2 ,” panggil Augusto. Tuan Fretes menoleh, terkesima beberapa saat melihat anak dan putra pelayannya yang sedang mendekat dengan wajah lebam. Aku mengikuti di belakang Augusto, mencoba melirik Ayah, dan melihatnya sedang menggelengkan kepala sambil menahan cengiran.
“Berkelahi lagi?” tanya Tuan Fretes. Augusto mengangkat bahu sambil mengambil selembar daun kering yang menggelepar di sisi kakinya dan membuangnya ke dalam api menyala-nyala.
Aku menghampiri Ayah dan mengambil sapu lidi yang ada di tangannya. “Aku akan menggantikan Ayah.”
Setelah itu Ayah dan Tuan Fretes meninggalkanku dan Augusto yang termenung menatap api dengan tatapan merana.
“Saat rumahmu terbakar oleh api, tanpa memikirkan api itu berasal dari dalam atau dari luar rumah, kita pasti akan berusaha memadamkannya,” kata Augusto.
“Kewajiban kita untuk mencegah perang terjadi. Namun, jika perang itu benar-benar terjadi, siapapun yang memulainya, kita harus mempertahankan diri,” kataku.
“Kau mengingatnya dengan cukup baik,” Augusto pasti akan tersenyum beberapa saat sebelum itu. Tapi ketika rasa sakit akibat berkelahi itu semakin terasa, kami berusaha melakukan gerakan bibir sesedikit mungkin.
“Itu kata-kata Thomas Jefferson , bukan?” tanyaku; nyaris tanpa menggerakkan bibir.
“Hm,” sahutnya dengan ekspresi datar.
Malam harinya, di kamar Augusto, setelah seorang wanita tua dari desaku merawat luka-luka kami, aku dan Augusto sibuk membicarakan rencana kami memadamkan “api” di antara kami dan anak-anak yang dulunya adalah teman-temanku. Kini masalahnya, bagaimana cara menemukan hal yang menjadi kelemahan anak-anak itu, seperti yang dilakukan Toyotomi Hideyoshi pada Benteng Takamatsu?
Berbagai cara dan ide bermunculan, namun tak ada satu pun yang akan terealisasi dengan benar. Dengan putus asa, Augusto melempar-tangkap sebuah buku tebal bersampul kulit yang akan dibacakannya untukku. Augusto melempar buku itu sekali lagi, tepat ketika pintu kamar terbuka. Aku menoleh untuk melihat siapa yang akan masuk; Augusto mengerang dengan tiba-tiba. Aku tidak menoleh, tapi, dari suara yang dihasilkan, aku menduga buku dengan sampul kulit itu telah menimpa kepalanya.
“Aku lupa membicarakan ini sebelumnya, tapi besok aku akan ke kota,” kata Tuan Fretes. Dia sudah duduk di ujung ranjang Augusto. “Apakah ada yang kau inginkan untuk hari ulang tahunmu?”
Augusto tidak menjawab, terlihat berpikir. Tuan Fretes menatapku, “Apakah ada yang kau inginkan?”
Aku berpikir sejenak, lalu ide itu melintas di kepalaku. Aku melompat mendekat pada Augusto dan membisikkan sesuatu di telinganya.
“Aha!” dia berteriak keras beberapa detik kemudian, lalu meringis kesakitan saat luka yang telah mengering di bibirnya kembali pecah.
***
Rencana kami berhasil dengan baik. Beberapa hari setelah pergi ke kota, Tuan Fretes pulang dengan membawa berbagai barang. Dia meletakkan karung kecil di hadapan kami ketika Augusto sedang bersamaku di dapur untuk membuat teh. Tanpa mengatakan apapun, Tuan Fretes mengangkat alis dan pergi. Aku dan Augusto saling bertukar pandang, lalu, dengan tidak sabar, menyerbu karung itu dan membukanya. Kami menahan nafas saat melihat lebih dari sepuluh gasing di dalam karung itu.
Teh di dapur segera terlupakan. Aku dan Augusto, tanpa berbicara satu sama lain, berjalan tergopoh-gopoh menuju sungai dengan menggotong sekarung gasing. Seperti dugaan kami, anak-anak itu sedang bermain di sungai. Aku dan Augusto terhenti. Memandang anak-anak itu dengan jantung berdebar-debar karena dua alasan. Pertama, karena gelisah memikirkan apakah rencana itu akan berhasil. Kedua, karena kami takut pulang dengan lebam-lebam di wajah kami.
Ketika salah satu dari mereka menyadari keberadaan kami, insting mereka memerintahkan untuk menghampiri kami. Dengan wajah galak, Bogel, yang terbesar di antara mereka, merebut karung di tanganku dan Augusto.
“Apa ini?” tanyanya dengan suara kasar. Begitu membukanya, wajahnya seketika merona. Aku mengenali ekspresi penuh damba pada wajahnya saat itu. Bagaimanapun, aku lebih lama berteman dengannya dari pada dengan Augusto.
“Itu punya kalian,” kata Augusto dengan suara gemetar. Anak-anak itu menatap Augusto dengan ekspresi tidak percaya. “Ayahku yang membelikannya. Ambillah,” kata Augusto. Aku heran dengan suaranya yang terlalu gemetar. Maksudku, aku tidak mengira dia akan setakut itu. Saat menoleh untuk menatapnya, aku menyadari bahwa itu bukanlah rasa takut.
“Aku selalu ingin berteman dengan kalian,” katanya. Suaranya bergetar karena emosi yang tidak terduga. “Tapi kenapa kalian selalu memperlakukanku dan dia dengan kejam?”
Bogel terlihat kehilangan kata-kata. Dia menggeleng lalu berkata, “Tapi kau kulit putih! Kau penjajah!”
“Aku bukan penjajah!” teriak Augusto. Setelah itu dia tidak mengatakan apapun dan menangis, bahkan ketika aku membimbingnya pulang.
Kami duduk di teras rumah ketika senja sore itu membuat bayang-bayang pepohonan memanjang, sehingga rumah terlihat lebih gelap.
“Aku bahkan bukan kulit putih,” kata Augusto dengan mata sembab. “Aku bangsa Kaukasian.”
“Apakah itu berbeda?” tanyaku.
Augusto mengangguk. Bogel dan anak yang lain muncul tiba-tiba tanpa kami sadari sebelumnya. Bogel terlihat salah tingkah, tapi lalu berkata kepada Augusto, “Kau serius tentang gasing-gasing itu?”
Augusto berdiri, menghampiri mereka, lalu mengangguk.
“Terimakasih,” kata Bogel, diikuti anak-anak yang lain.
“Apa kita teman sekarang?”
Bogel menunduk malu, lalu mengangguk. Augusto memeluknya seketika. Aku tidak ingin kehilangan momen itu dan berlari menghampiri mereka untuk memeluknya. Anak-anak yang lain juga memeluk kami setelah itu.
Senja itu, api di antara kami berhasil dipadamkan. Aku tahu sebenarnya mereka adalah teman-teman yang baik. Hanya saja, sebelumnya, mereka tidak ingin membuka diri kepada orang yang terlalu berbeda. Hal sederhana seperti gasing—atau malah tangisan Augusto?—telah membuka diri mereka kepada Augusto. Sebagai hadiah atas ideku, Augusto mengajariku membaca untuk pertama kalinya malam itu.
***
Suatu hari di bulan Januari tahun 1940, Tuan Fretes meninggal. Ayahku meninggal beberapa hari setelahnya. Bahkan, dengan keberadaan Augusto di rumah besar itu, semuanya tetap terasa begitu kosong. Seperti ada sesuatu yang salah.
Kami duduk di teras rumah pada senja setelah pemakaman ayahku, persis seperti sepuluh tahun sebelumnya, ketika kami berusia sembilan tahun. Senja itu, Augusto mengutarakan keinginannya untuk pergi dari tempat ini.
“Terlalu banyak kenangan di tempat ini,” katanya. “Beberapa hari terakhir aku hanya menutup mata tanpa tidur di malam hari, dengan harapan, ketika membuka mata, kita akan kembali ke masa-masa itu.”
Aku tersenyum. “Mungkin malam ini aku pun akan begitu.”
“Aku berpikir,” katanya dengan suara berbisik, “apakah kau akan baik-baik saja.” Dia terdiam beberapa saat sebelum melanjutkan, “Apakah tidak apa-apa kalau aku pergi meninggalkanmu?”
Aku menatap wajahnya, dan dia menatap wajahku. Aku tahu, tidak ada yang bisa kukatakan untuk mencegahnya pergi. Seminggu setelah itu, aku menatap lekat-lekat mata cokelat Augusto untuk terakhir kalinya. Saat-saat itu begitu emosional dan dia memelukku erat-erat.
“Selama ini aku tidak pernah menganggapmu sebagai pelayan,” katanya. “Kau adalah saudaraku.” Dia melepas pelukannya, mencengkeram bahuku erat-erat. Dia tersenyum, tapi aku melihat matanya berkilau oleh air mata. “Semua bukuku kini milikmu. Kau bisa membaca kisah Toyotomi Hideyoshi dengan leluasa sekarang.”
Aku tersenyum tanpa berkata-kata, karena aku tahu, mengucapkan sepatah kata saja akan membuatku menangis.
“Selamat tinggal, saudaraku,” katanya sambil berjalan menjauh.
***
Ada kerinduan yang menyeruak di antara hujan petang itu, di bulan Februari tahun 1941. Aku berdiri di depan jendela di kediaman baruku di Djodipan, Malang. Tetes-tetes hujan sebesar butir peluru memberondong tanah. Tangan kananku menggenggam selembar kertas, sepucuk surat dari Augusto, singkat, tapi sanggup menggugah suasana hatiku menjadi tidak menentu.
Tepat sehari setelah kepergian Augusto pada bulan Januari tahun 1940, aku memutuskan untuk pergi dari tanah kelahiranku. Sebelum itu, aku meminta Bogel menjaga dan merawat rumah Tuan Fretes dan meninggali kamarku. Di Malang-lah pada akhirnya aku memilih kehidupan baruku. Di kota itu, aku bekerja sebagai seorang juru cetak di sebuah percetakan surat kabar dan berbagi rumah dengan Kromo (dia bekerja di Radio Goldberg ). Pekerjaanku cukup merepotkan, karena kala itu percetakan-percetakan masih menggunakan handset; huruf demi huruf harus disusun membentuk kata, kata per kata disusun membentuk kalimat di sebuah permukaan. Setelah seluruh alinea tersusun, aku akan memasukkannya ke mesin cetak dan mulai mencetak lembar demi lembar; harus berhati-hati agar tanganku tidak terjepit mesin cetak saat meletakkan selembar kertas dan mengambilnya. Jika pencetakan telah selesai, aku akan melepas huruf-huruf itu dan menyimpannya untuk kemudian hari. Lebih dari setahun aku menjalani hidup di tempat ini hingga pada suatu siang di bulan Februari tahun 1941, Bogel—terlihat lebih hitam dan kurus—tiba-tiba muncul di kediamanku untuk mengantarkan sepucuk surat.
Aku membukanya, isinya cukup singkat. Augusto memberitahuku bahwa saat itu dia tinggal di sebuah kota di Jepang. “Bukan kota di mana istana Toyotomi Hideyoshi berada,” tulisnya. “Tapi aku akan mengunjunginya suatu hari nanti.”
Senyum bahagia mengembang di bibirku. Aku menuliskan balasan untuknya, mengirim surat itu keesokan harinya, dengan harapan balasan darinya akan meluncur dengan cepat mengarungi lautan. Sejak itu, setidaknya dalam setahun akan selalu ada sepucuk surat darinya untukku.
***
Pada 7 Desember 1941 pagi, Angkatan Laut Kekaisaran Jepang menyerang Honolulu, Hawai. Serangan ini dikenal dengan Serangan Pearl Harbor dan memicu pecahnya Perang Pasifik. Dengan menggunakan taktik Jerman, Jepang melancarkan perang kilat ke Asia Tenggara. Negara-negara jajahan Barat jatuh ke genggaman Jepang; Nusantara jatuh ke tangan Jepang pada tahun 1942, dan, pada 8 Maret 1942, Jepang memasuki Malang.
Jepang mengeluarkan sebuah pengumuman yang intinya berupa larangan untuk mencetak segala hal yang berhubungan dengan pengumuman atau penerangan, kecuali untuk badan-badan yang mendapatkan izin. Dengan peraturan baru itu, penerbitan tempatku bekerja ditutup dan aku kehilangan pekerjaan. Kromo sudah lama kehilangan pekerjaannya, tapi dia beruntung karena pada akhinya bekerja di eks-radio Belanda yang diperbaharui menjadi Malang Hosokyokai6 setelah menyatakan bersedia mendukung alat propaganda Jepang itu.
Kromo dan rekan-rekannya melakukan kegiatan “bawah tanah”—dengan melakukan observasi siaran radio asing—memasuki tahun 1944 untuk menggali informasi tentang apa yang terjadi di dunia luar. Mereka harus memperhitungkannya dengan tepat karena, jika tidak, mereka akan bernasib sama dengan seorang wartawan Domei7 yang dibunuh karena dituduh mendengarkan siaran radio musuh. Melalui radio-radio asing itu, kami mengetahui kejadian-kejadian mendebarkan di awal Agustus 1945.
Saat itu aku baru saja memasuki rumah ketika Kromo mengatakan sebuah kabar yang membuatku membeku selama beberapa saat. Sebuah bom atom telah dijatuhkan Amerika di atas Hiroshima pada tanggal 6 Agustus. Aku ingat tubuhku yang menjadi dingin dan membeku. Suara dentuman bom itu seakan terdengar di telingaku, membuatnya berdenging untuk beberapa saat.
Hari itu juga, dengan jantung berdegub kencang, aku menulis surat untuk Augusto. Aku bersepeda dengan kencang menyusuri Pecinan8 menuju Kantor Pos dan Tilgram9 di Jalan Kayutangan. Mendekati Alon-alon, terlihat gedung-gedung megah yang mengelilinginya, di antaranya Javasche Bank10 , Palace Hotel11 , Gedung Societeit Concordia12 , sebuah gereja bergaya Neo Gothik, gedung Asisten Malang Residen13 , dan Kantor Pos dan Tilgram sendiri. Aku menghentikan sepedaku yang melaju begitu kencang di depan Kantor Pos dan Tilgram, membuat roda depan sepedaku berdecit nyaring. Begitu masuk ke dalamnya, aku menjalani beberapa prosedur, dan mengirim surat itu; berharap Augusto masih akan membaca suratku.
***
Hari ini, ketika aku berdiri kembali di kediaman Tuan Fretes, adalah bulan Agustus tahun 1957, dua belas tahun sejak surat terakhir yang kukirimkan untuk Augusto, sahabatku, tak berbalas. Bagiku, ini adalah waktu yang cukup lama untuk membuktikan satu hal: bahwa Augusto telah tiada, tepat di hari ketika bom atom dijatuhkan di Hiroshima.
Aku berjalan ke belakang rumah yang pernah megah ini, dan melihat halaman belakang. Samar-samar, aku seakan mendengar suara dua langkah kecil yang terseret-seret, lalu suara Augusto yang memanggil ayahnya, “O Pai.”
Tuan Fretes menoleh, di sebelahnya berdiri ayahku yang menopangkan berat tubuhnya pada gagang sapu lidi. Aku dan Augusto muncul dari sesemakan dengan wajah lebam di sana-sini dan mendekati api. Aku menatap mata cokelat gelap milik Augusto dengan haru, sekali lagi. Mata itu memantulkan api yang berkobar di hadapan kami, terlihat menyala-nyala, lalu aku menghampiri sahabatku yang telah lama pergi dan memeluknya untuk melepas rindu.
Kenzarah Zhetira Alam adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Jakarta, Penulis Novel “Kick-Off!!!
Catatan:
1. Berdasarkan The Swordless Samurai Pemimpin Legendaris Jepang abad XVI oleh Kitami Masao, diedit oleh Tim Clark. DIterbitkan di Indonesia oleh Zahir Books.
2. Pai adalah Ayah; dalam bahasa Portugis.
3. Thomas Jefferson adalah Presiden ke-3 Amerika Serikat. Masa jabatan: 1801-1809.
4. Radio Goldberg, berada di Toko Goldberg, sekarang Jalan Basuki Rahmat. (http://www.rri-malang.com/history/index.html)
5. Serangan Jepang ke Honolulu berdasarkan sumber Wikipedia.
6. Terletak di Jalan Betek, sekarang Jalan Mayjen Pandjaitan.
7. Bernama Koesen, pembunuhnya bernama Kenpei. Berita lain menyebutkan Koesen dibunuh karena menyembunyikan buronan Jepang. Sumber: http://www.stikosa-aws.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=157:sejarah-pers-indonesia-pada-masa-penjajahan&catid=138:artikel&Itemid=107
8. Sekarang Jalan Pasar Besar.
9. Sekarang sudah dibongkar.
10.Sekarang Bank Indonesia.
11.Sekarang Hotel Pelangi.
12.Sudah runtuh, di atasnya dibangun pertokoan.
13.Terletak di selatan Alon-alon, sekarang sudah dibongkar.

0 komentar:

Posting Komentar