Change The Language

EnglishFrenchGermanSpainItalianDutch RussianPortugueseJapaneseKoreanArabicChinese Simplified

Minggu, 12 Februari 2012

Dari Mana Datangnya Dinasti Tang? (Bagian 1)

Oleh John Kuan



Ilustrasi diambil dari bp.blogspot.com
Sebelum melanjutkan terjemahan puisi-puisi Dinasti Tang, saya ingin menulis satu dua hal yang berhubungan dengan latar belakang sejarah dan kebudayaan masa itu, catatan-catatan ini dapat dibaca sebagai lampiran untuk puisi-puisi Dinasti Tang yang pernah saya terjemahkan ataupun yang akan diterjemahkan. Catatan pertama ini akan menelusuri sepotong jalan yang cukup panjang menuju satu masa keemasan dalam sejarah Cina, yaitu Dinasti Tang.
Dari arah dan jalan mana Cina menuju Dinasti Tang? Sebagian besar cendekiawan berpendapat, hanya perlu mengikuti jalan budaya Cina yang sudah tersedia, cepat atau lambat pasti akan sampai di masa keemasan itu. Namun, kenyataannya mungkin tidak demikian. Jalan menuju jaman keemasan yang seperti Dinasti Tang memerlukan suatu kekuatan yang dashyat dan terbuka. Kekuatan ini juga pernah dimiliki Dinasti Qin dan Han, namun Dinasti Qin terlalu banyak menghabiskannya dalam intrik-intrik politik istana dan proyek-proyek raksasa, sedangkan Dinasti Han menghabiskannya dalam enam puluh tahun peperangan melawan suku Xiongnu di perbatasan, akhirnya dengan kesombongan dan kemewahan yang berlebihan telah menyebabkannya terpecah belah dan megap-megap. Walaupun Dinasti Wei (220 – 265) dan Dinasti Jin ( 265 – 420 ) terus berusaha menyusun kembali kekuatan melangkah ke arah terang, tetapi itu adalah sebuah jaman kegelapan, dengan setitik cahaya lemah dari para cendekiawan yang cenderung misterius seperti Tao Yuanming atau Wang Xizhi, bagaimana dapat menembus setapak yang gelap dan berkabut itu? Jadi bagaimana dalam keadaan begini dapat menciptakan sebuah jaman yang megah seperti Dinasti Tang?
Kekuatan yang diperlukan untuk membuka sebuah jaman keemasan sudah tidak mungkin lagi dihasilkan istana ataupun dunia cendekiawan, kekuatan itu hanya mungkin berasal dari alam terbuka. Kekuatan alam terbuka, juga dapat disebut kekuatan liar, sesuatu yang belum menyentuh peradaban. Apakah mungkin suatu kekuatan liar dapat ikut membangun sebuah puncak kebudayaan besar? Ini sangat tergantung apakah dia dapat dengan cepat memasuki peradaban. Seandainya demikian, maka kekuatan liar itu akan dapat menopang seluruh peradaban yang dimasukinya.
Tepat pada waktu itu Cina mendapat satu kekuatan liar begini, kekuatan ini berasal dari Donglu, bagian paling utara Pergunungan Khingan Agung di daerah Mongolia. Di sana hidup orang-orang nomaden yang disebut suku Xianbei, di antaranya ada satu klan yang agak menonjol, yaitu klan Tuoba. Setelah suku Xiongnu terpencar ke arah barat dan selatan dalam penaklukan Kaisar Han Wudi (156 SM – 87 SM), klan Tuoba datang ke tanah suku Xiongnu yang semula, dengan kekuatannya memaksa orang-orang Xiongnu yang tersisa beraliansi, mengalahkan suku-suku lain, menjadi yang terkuat di daerah utara, kemudian di ujung abad ke-4 mendirikan sebuah kerajaan di Pingcheng ( kini terletak di Datong, Provinsi Shanxi ). Atas saran seorang suku Han, nama kerajaannya diubah menjadi ‘ Wei “, ini untuk menunjukkan bahwa dia telah menerima kekuasaan dari klan Wei jaman Sanguo ( Samkok ) dan resmi memasuki sejarah Cina, catatan sejarah menyebutnya Dinasti Wei Utara. Dan setelah melalui peperangan dan penaklukan selama setengah abad, Dinasti Wei Utara telah selesai menyatukan seluruh daerah perairan Sungai Kuning.
Kemenangan, serta meluasnya teritori kekuasaan yang dibawa oleh kemenangan telah membuat pemimpin suku Xianbei yang mendirikan Dinasti Wei Utara terpaksa harus terlibat dalam pemikiran-pemikiran tentang kebudayaan. Persoalan yang paling jelas adalah: Suku Han telah dikalahkan, dapat diberdayakan, namun, yang diwakili suku Han adalah peradaban agraris, dan ini tidak dapat begitu saja diberdayakan oleh aturan-aturan peradaban nomaden. Ingin efektif memerintah sebuah peradaban agraris, tentu harus menekan kekuasaan absolut, melaksanakan sistem persamaan tanah ( 均田制 ), sistem pencatatan kartu keluarga ( 户籍制 ), sistem pembayaran pajak ( 纳税制 ), sistem pembagian wilayah, dan sistem-sistem ini masih menyeret serangkaian perubahan besar dalam cara hidup dan bentuk kebudayaan. Mereka dapat memilih tidak melakukan perubahan, menelantarkan tanah subur delta Sungai Kuning menjadi tanah berburu, bersama-sama mundur ke jaman primitif; atau memilih melakukan perubahan, membiarkan kebudayaan suku yang telah dikalahkan mengalahkan mereka, bersama-sama maju menuju peradaban baru.
Orang-orang bijak suku Xianbei dengan tekad dan keberanian memilih dikalahkan. Ini tentu harus menghadapi berbagai rintangan dari lingkup dalam mereka. Jiwa kesukuan yang tertutup dan angkuh serta rapuh, berkali-kali berubah jadi pembunuhan brutal. Banyak juga suku Han yang menjadi pejabat di sana mati dengan mengenaskan. Namun, sejarah memihaknya, Langit memberkati, sepotong jalan revolusi penuh bercak darah itu akhirnya dapat menembus satu kesimpulan: Hanisasi (Saya lebih suka menggunakan kata yang saya buat sendiri ini daripada Sinifikasi – kurang lebih artinya mengadopsi kebudayaan suku Han). Sekitar ujung abad ke-5 Masehi, dimulai oleh Ratu Feng (442 – 490) dan dilanjutkan Kaisar Xiaowen (467 – 499), serangkaian penerapan hanisasi dilaksanakan dengan keras dan efektif. Terlebih dahulu diterapkan pada sistem pemerintahan dan sistem pertanian, kemudian perubahan-perubahan ini dengan cepat didorong ke arah kebudayaan.
Pertama, memindahkan ibukota ke arah selatan dari Pingcheng (Datong, Provinsi Shanxi) ke Luoyang di Henan. Alasannya adalah kampung halaman di utara lebih cocok ‘ pemerintah militer ( 武功 ) ‘ ala nomaden, dan daerah selatan akan lebih cocok menerapkan ‘ pemerintah sipil ( 文治 ) ‘. Dan yang dimaksud ‘ pemerintah sipil ‘ di sini adalah sepenuhnya menerapkan sistem pemberdayaan masyarakat orang Han.
Kedua, dilarang menggunakan bahasa suku Xianbei, seluruhnya menggunakan bahasa Han. Pejabat-pejabat yang telah berumur diijinkan satu masa adaptasi, dan bagi pejabat muda dibawah tiga puluh tahun jika masih menggunakan bahasa suku Xianbei, segera diturunkan pangkat dan dihukum.
Ketiga, meninggalkan pakaian adat dan pernak-pernik suku Xianbei, menerapkan tatacara dan aturan berpakaian suku Han.
Keempat, orang-orang suku Xianbei yang telah pindah ke Luoyang, seluruhnya mengubah tempat asal menjadi ‘ Luoyang, Henan ‘, setelah mati dikuburkan di Bukit Mang ( 邙山 ) di sisi utara Luoyang.
Kelima, nama klan suku Xianbei diubah menjadi marga suku Han yang satu kata.
Keenam, menerapkan tatacara li ( 礼 – di sini mungkin bisa diartikan sebagai ritual ) suku Han untuk menggantikan cara-cara lama penyembahan suku Xianbei.
Ketujuh, menganjurkan kawin campur antara suku Xianbei dan suku Han, ditentukan harus dimulai oleh bangsawan suku Xianbei, kawin campur dengan golongan terpelajar suku Han.
……
Begini banyak perintah, dikeluarkan oleh seorang penguasa minoritas yang kuat menggenggam tampuk kekuasaan, dan di sekelilingnya tidak ada yang mendesaknya melakukan semua ini, memang dapat membuat orang terhenyak. Saya rasa, ini bukan hanya di Cina, bahkan di dunia juga sangat jarang terjadi.
Perlawanan yang keras dan penuh amarah terhadap hal ini dapat dengan mudah kita bayangkan, semua perlawanan itu berentetan, penuh semangat, berhubungan dengan harga diri suku. Bahkan melibatkan anggota keluarga Kaisar Xiowen dan putra mahkota. Hukuman dari Kaisar Xiowen terhadap perlawanan ini juga sangat kejam, samasekali tidak memberi kesempatan.
Ini sudah sedikit menyerupai tokoh dalam drama Shakespeare. Sebagai penerus penguasa minoritas, dia pasti merasa bangga dengan leluhurnya, tetapi dia juga yang harus mengeluarkan perintah-perintah melepaskan tradisi leluhurnya. Terhadap hal ini, dia berusaha keras menahan penderitaan batin. Namun karena sangat menderita dan pahit, maka dia memilih perubahan yang tuntas, tidak membiarkan dirinya dan bawahannya ragu dan goyang. Dia menghukum setiap perlawanan persis seperti dia menghukum dirinya yang satu lagi.
Raja sebelumnya, Touba Gui ( 拓拔珪, yang bergelar Kaisar Daowu – 道武帝, 386 – 409 ) yang pertama kali menggagas hanisasi, dan karena pergolakan batin yang sama menyebabkan dia mengalami kekacauan pikiran, berbicara sendiri, berubah jadi beringas, sesuka hati membunuh bawahannya. Ini mungkin merupakan akibat yang pasti akan terjadi dari proses penggabungan dua budaya atau cara hidup yang sangat berbeda. Proses begini biasanya berlangsung ratusan tahun atau kadang-kadang bahkan sampai ribuan tahun baru selesai. Namun mereka memaksa menekan menjadi puluhan tahun, oleh sebab itu, sejarah sendiri saja dibuatnya limbung dan hampir pingsan.
Kaisar Xiowen meninggal di tahun penutup abad ke-5, namun, usianya hanya tiga puluh dua tahun. Kaisar Xiowen yang bernama Tuoba Hong ( 拓拔弘 ) ini hanya tiga puluh dua tahun di dunia dan ternyata telah melakukan begitu banyak perubahan-perubahan besar, benar-benar sulit dipercaya. Dalam catatan resmi dia naik tahta pada usia empat tahun, di atas tahta selama dua puluh delapan tahun, namun kenyataan adalah neneknya, Ratu Feng yang mengendalikan seluruh urusan negara. Setelah Ratu Feng meninggal dunia, dia sudah berumur dua puluh tiga tahun, jadi, dia secara mandiri memerintah hanya sekitar sembilan tahun.
Ini adalah sembilan tahun yang luar biasa. Walaupun ketegasan dan keberaniannya telah membawa akibat kekacauan politik yang rumit setelah dia meninggal. Tetapi, serangkaian perubahan-perubahan yang sangat mendalam terhadap kehidupan dan kebudayaan sudah sangat sulit berbalik arah lagi, dan inilah hal yang paling penting. Dia menggunakan sembilan tahun mendorong Cina bagian utara memasuki satu titik kebudayaan yang sangat menentukan arah perkembangan kebudayaan Cina. Oleh sebab itu dia adalah seorang Kaisar yang sangat berhasil dalam sejarah suku Xianbei, atau sejarah Dinasti Wei Utara maupun sejarah Cina secara keseluruhan. Saya kira dialah orang yang melakukan reformasi kebudayaan dalam arti yang sebenarnya.

0 komentar:

Posting Komentar