Change The Language

EnglishFrenchGermanSpainItalianDutch RussianPortugueseJapaneseKoreanArabicChinese Simplified

Sabtu, 25 Februari 2012

Dari Mana Datangnya Dinasti Tang? (Bagian 2)


Membahas reformasi yang dilakukan oleh Kaisar Xiowen sering membuat saya ragu, takut hal ini dapat membawa kesalah-pahaman kepada orang-orang yang terlalu berlebihan mengunggulkan budaya Han. Reformasi yang dilakukan oleh Kaisar Xiowen seakan-akan sekali lagi memberi mereka bukti bahwa budaya Han memang memiliki kedudukan tertinggi. Tentu, dibandingkan dengan suku Xianbei yang baru melangkah keluar dari masyarakat primitif, kebudayaan Han jauh lebih matang. Suku Han yang telah melewati Dinasti Xia, Shang, dan Zhou ini pernah menghasilkan cukup banyak pemimpin-pemimpin yang membawa kemajuan dalam masyarakatnya, kemudian diperkaya oleh filsuf-filsuf pada akhir Dinasti Zhou, dan juga hasil nyata yang gemilang dari Dinasti Qin dan Han, semua ini bukan saja cukup layak menuntun satu suku nomaden yang ingin secara cepat memajukan kebudayaannya, bahkan materinya sudah terlalu berat. Dalam lembaran-lembaran sejarah sangat mudah menemukan suku Han yang setelah ditaklukkan oleh suku lain justru dapat menaklukkan suku tersebut dari sisi budaya.
Sesungguhnya hanisasi yang dilakukan oleh Kaisar Xiowen bukan hanya sekedar mengakui keunggulan budaya Han, tetapi masih ada sebab lain yang lebih realistis. Ketika dia membuka mata melihat dirinya telah diwariskan sebuah kerajaan yang begitu luas, dia merenung sejenak, lalu cepat-cepat mencari alasan lain di luar keunggulan militer sebagai penguasa. Mungkin seperti Iskandar Agung, penakluk Macedonia Kuno yang juga meninggal pada usia tiga puluh dua tahun itu, selalu bersujud di depan altar wilayah-wilayah yang telah ditakluknya. Tujuannya juga untuk mencari alasan penaklukan di luar kekuatan militer.
Ada satu kenyataan yang mesti diperhatikan: Kaisar Xiowen memaksa bawahannya mengadopsi budaya suku Han, tetapi tidak pernah melarang mereka membawa masuk unsur-unsur budaya nomaden yang bersifat terbuka ke dalam budaya Han, atau dengan kata lain, hanya ketika mereka sudah sepenuhnya terhanisasi, unsur-unsur budaya nomaden baru mungkin benar-benar meresap ke dalam budaya Han.
Dia melarang suku Xianbei tidak memakai pakaian Han, tidak menggunakan bahasa Han, tetapi dia tidak melarang orang Han tidak memakai pakaian Han, tidak menggunakan bahasa Han. Sesungguhnya, saat ‘ suku asing ‘ dihanisasi, sebenarnya juga merupakan ‘ proses pengasingan ‘ suku Han. Mungkin ini merupakan suatu bentuk peleburan dua arah dalam satu tubuh.
Sejak Dinasti Wei Utara, banyak sekali budaya suku-suku minoritas di perbatasan utara dan barat diserap suku Han, contoh-contoh nyata begini sangat mudah ditemukan, misalnya alat musik, mulai dari mandolin, seruling, rebana, hingga pipa… seandainya tanpa suara-suara merdu ini, orkestra yang dimainkan Dinasti Tang pasti kehilangan sebagian besar kemegahannya. Hal ini sangat mudah dimengerti jika melihat lukisan-lukisan dinding gua di Dunhuang, atau membaca puisi-puisi Tang. Satu kenyataan adalah budaya Han sejak jaman dulu bukan saja sebagai penyumbang untuk budaya suku lain tetapi juga sebagai penerima atau penyerap budaya suku lain. Dan bukan hanya di bidang musik saja, hampir pada segala bidang mempunyai proses yang hampir sama. Dari ini dapat ditarik kesimpulan, Dinasti Tang, bukan suku Han sendiri yang dapat ciptakan.
Lebih penting lagi adalah adanya suatu daya yang bersifat terbuka dalam budaya nomaden yang dimasukkan ke dalam budaya Han. Daya itu sedikit liar, sedikit dingin, sedikit kasar, sedikit kacau, namun begitu luas, begitu bebas, begitu santai. ” Langit begitu biru, padang begitu luas ” yang belum pernah dirasakan oleh filsuf-filsuf Cina Kuno di atas pedati di sisi sungai, sudah berubah menjadi latar budaya baru. Kebudayaan Cina seperti menunggang kuda lincah di padang rumput, suara cambuk berbunyi, kaki kuda melesat ke depan, menyongsong sebuah masa depan yang penuh daya hidup.
Reformasi ini bukan hanya demikian saja. Sejak Kaisar Xiowen menganjurkan kawin campur antara suku Xianbei dan suku Han, suatu proses pembauran darah begitu lebar terbuka. Dan ini tidak lagi bersifat politis, tetapi lebih merupakan suatu pembauran alamiah. Dari ini kita dapat menguak sebuah rahasia yang terpedam di lapisan yang cukup dalam tentang terbentuknya Dinasti Tang: Klan Li ( 李氏 ), penguasa Dinasti Tang, merupakan kristalisasi dari kawin campur antara suku Xianbei dan suku Han.

Ibu Kaisar Tang Gaozu ( Li Yuan, 566 – 635 ) maupun Kaisar Tang Taizong ( Li Shimin, 599 – 649 ) adalah orang Xianbei. Isteri Li Shimin juga orang Xianbei. Maka, di dalam tubuh Kaisar Tang Gaocong ( Li Zhi, 628 – 683 ) mengalir tiga per empat darah Xianbei dan seperempat darah Han. Sesungguhnya ibu Kaisar Yang dari Dinasti Sui ( 569 – 618 ) juga orang Xianbei, bahkan adalah saudara kandung ibu Li Yuan. Dalam kartu keluarga mereka semuanya tercantum berasal dari ‘ Luoyang, Henan ‘. Kita tahu, nama tempat asal ini merupakan rancangan Kaisar Xiowen. Sampai di sini kita harus sekali lagi mengakui visi Kaisar Xiowen. Dia menggunakan cara yang paling lembut, paling realistis, mengajak sukunya ikut mengambil bagian dalam proses terciptanya sebuah era yang terang dan gemilang.
Sepotong jalan menuju Dinasti Tang yang megah sudah terbuka lebar. Jalan ini awalnya sedikit sempit, sedikit menyimpang, sedikit berbahaya, namun akhirnya menjadi sepotong jalan besar yang memiliki arti yang sangat penting dalam perjalanan sejarah Cina. Ada dua tempat yang paling dapat mewakili telah terbukanya jalan besar menuju Dinasti Tang, yaitu Gua Yungang ( 云冈石窟 ) dan Gua Longmen ( 龙门石窟 ). Gua Yungang berada di Datong, Provinsi Shanxi dan Gua Longmen berada di Luoyang, Provinsi Henan, dua tempat ini sama-sama merupakan ibukota Dinasti Wei Utara. Dua tempat ini dapat dilihat sebagai tanda perpindahan Dinasti Wei Utara.
Sebenarnya saya sangat ingin mendeskripsikan ke dua gua yang pasti akan membuat setiap orang yang memandangnya terpana, namun saya kemudian sadar, di depan ke dua gua ini, kata-kata tidak akan berdaya. Di sini, kita bukan hanya dapat merasakan suatu keindahan yang agung, bertenaga, dan terbuka dari penguasa suku Xianbei, tetapi juga perpaduan yang serasi dari lebih banyak kebudayaan-kebudayaan yang berasal dari tempat yang lebih jauh.
Karena mereka dapat dengan sikap terbuka menerima keunggulan budaya Han, tentu juga akan bersikap serupa terhadap budaya lain. Mereka telah berubah menjadi semacam ‘ busa ‘ yang memiliki daya isap yang tinggi, budaya apapun pasti akan mendapat satu kedudukan di dalamnya. Mereka sendiri agak kekurangan ketebalan budaya, masih belum terbentuk kebudayaan yang rumit dan dalam, kelemahan ini dengan cepat berubah menjadi keunggulan mereka, karena mereka agak jarang menolak ‘ yang lain ‘ kemudian berubah menjadi ‘ tuan rumah ‘ yang memiliki pembauran berbagai macam budaya. Jadi, sebuah perjamuan budaya meriah yang sesungguhnya sudah siap dihidangkan.
Ambil satu umpama untuk hal ini. Misalkan ada sekelompok tetua yang memiliki ilmu pengetahuan yang dalam menetap secara terpencar, ada yang dekat, ada yang jauh, karena latar belakang dan kekuatan masing-masing membuat mereka bersikap saling bertahan. Tiba-tiba dari daerah luar datang seorang anak muda yang sehat dan kuat namun sejak kecil kehilangan kesempatan mencecap pendidikan, terhadap ilmu siapa pun dia menaruh hormat dan menerima, tanpa prasangka, dan memiliki tenaga untuk mengundang ke sana kemari tetua-tetua itu, akhirnya, dengan dia sebagai pusat, tetua-tetua itu pelan-pelan mulai berjalan seiring, ramai sekali.
Anak muda yang sehat dan kuat ini, dialah klan Touba dari suku Xianbei. Perjamuan budaya yang meriah, itulah Gua Yungang dan Gua Longmen.
Perancang dan pemimpin pembukaan Gua Yungang yang paling penting adalah seorang biksu bernama Tan Yao ( 昙曜 ). Dia sesungguhnya adalah biksu yang menetap di Liangzhou ( 凉州 – kini sekitar Wuwei, Provinsi Gansu ), waktu itu Liangzhou merupakan pusat kebudayaan Buddha yang sangat penting. Pada tahun 439, setelah Dinasti Wei Utara berhasil menguasi Liangzhou, sekitar tiga puluh ribu penduduk dan beberapa ribu biksu yang tertawan dibawa ke Pingcheng ( ibukota Dinasti Wei Utara ), banyak dari tawanan itu merupakan perancang dan pemahat batu gua Buddhis, Tan Yao juga termasuk salah satu di antaranya, oleh sebab itu Gua Yungang memiliki corak Liangzhou yang sangat kental. Dan gua-gua Buddhis di Liangzhou merupakan titik bertemunya berbagai kebudayaan, di sana ada kebudayaan India, Asia Selatan, dan Asia Tengah. Maka, Gua Yungang yang melalui peralihan dari gua-gua di Liangzhou, telah mengendap selapis kebudayaan luar yang sangat tua dan jauh. Seni pahat Yunani sangat menonjol di sini, tentu karena pengaruh seni Gandhara, dan itulah perpaduan antara kebudayaan India dan kebudayaan Yunani.
Sebelum Gandhara, seni Buddhis kebanyakan dengan stupa atau bangunan memorial lain sebagai lambang, sejak invasi Iskandar Agung, sekelompok besar seniman yang mengikuti pasukan tentara juga sampai, seni Buddhis mengalami perubahan yang dratis, serangkaian perubahan mulai dari batang hidung, cekung mata, garis bibir hingga lengkung dagu yang khas orang Eropa terjadi, dan perubahan ini menyebar luas masuk ke daerah perbatasan barat Cina, seperti daerah Kucha dan Khotan di Xinjiang. Karena Gua Yungang telah menyerap corak Liangzhou, Kucha, dan Khotan, berarti juga telah menyerap kebudayaan India dan kebudayaan Yunani.
Setelah ibukota Dinasti Wei Utara pindah ke Luoyang, perhatian terpusat pada pembangunan Gua Longmen. Gua ini melanjutkan gaya Gua Yungang, namun merangkul lebih banyak lagi budaya luar, dan perbandingan budaya Cina juga makin meningkat.
Itulah kegagahan Dinasti Wei Utara. Menelan seribu aliran, menerima yang jauh dan dekat, hampir mengumpulkan seluruh intisari dari beberapa kebudayaan besar dan penting di dunia, dilebur dalam satu tubuh, saling berkembang, tumbuh dan bergelora. Kebesaran ini, tiada duanya, oleh sebab itu, Dinasti Tang sudah sangat dekat.
Dinasti Tang dapat menjadi sebuah jaman keemasan, tepat karena dia tidak murni. Sepanjang sejarah tidak sedikit cendekiawan yang ingin mencari kemurnian sebuah kebudayaan, di dalamnya termasuk bahasa, begitu juga para cendekiawan Cina. Sesungguhnya, terlalu murni akan berubah jadi sesuatu yang terbuat dari kaca, biarpun tiap hari digosok hingga mengkilap dan tembus pandang, tetapi tetap tidak dapat mengubah dirinya yang kecil, tipis, dan rapuh. Dan mungkin suatu hari, karena agak kuat menggenggamnya sewaktu menggosok sehingga dia hancur berkeping, dan kepingan itu juga sangat mungkin melukai tangan. Apalagi, kaca juga merupakan senyawa kimia, bagaimana dapat dikatakan benar-benar murni?
Dinasti Wei Utara menggunakan seluruh dayanya mempersiapkan Dinasti Tang yang tidak murni. Karena tidak murni maka jalan itu berubah menjadi lebar dan terbuka, dan di sisinya masih ada dua pintu gua batu yang megah, ini adalah satu jalan besar yang disusun dari potongan-potongan batu keras, membentang di antara langit dan bumi. Jika dibandingkan, maka setapak kebudayaan yang tersembunyi di dalam gulungan kertas yang tersimpan di dalam perpustakaan, tampak terlalu sepele.
Di sekitar jalan besar ini, semua kebudayaan yang memiliki daya hidup pasti akan mendekat, ini adalah gambaran kebudayaan yang penuh warna dan hidup. Kadang-kadang kita hanya dapat mengeluh saat melihat banyak kebudayaan yang sesungguhnya sudah terbentang sepotong jalan lebar menuju kejayaan, namun begitu saja dikuburkan, hanya karena tidak dapat menerima perbedaan. Manusia selalu begitu, terlalu pintar, setelah menciptakan kebudayaan sendiri, kemudian menjadi sangat peka dan menarik garis pembatas dengan kebudayaan lain. Akibatnya, karena ingin melindungi diri sendiri akhirnya terjerumus menjadi mengekang diri sendiri. Seandainya kita melepaskan kepintaran ini, seluruh pemandangan akan menjadi berbeda, dengan demikian, saya rasa sudah sampai di depan gerbang megah Dinasti Tang.


Baca Dulu  Dari Mana Datangnya Dinasti Tang? (Bagian 1)

0 komentar:

Posting Komentar