Change The Language

EnglishFrenchGermanSpainItalianDutch RussianPortugueseJapaneseKoreanArabicChinese Simplified

Kamis, 17 Januari 2013

Dee, I Love U

Terkadang Tuhan pertemukan dua orang untuk saling jatuh cinta
tetapi tidak untuk saling memiliki.




Dia memakai kemeja hitam dan jeans hitam. Senang sekali bisa bersamanya di luar jam kuliah. Meskipun kami tidak hanya berdua. Ada Ferdi, Ilma dan Ares. Kami berada di cafeteria kampus. Entah keberapa kalinya aku kembali satu kelompok dengan Dee. Seperti biasa, dia sangat dingin dan tidak bersahabat. Padahal ini bukan pertamakalinya kami ada di kelompok yang sama.
“Ini, Ree … Hasil penelitian dari Kampung Leles. Udah aku susun semuanya,” kata Ilma sambil menyerahkan flashdisk-nya. Sementara Dee, Ares dan Ferdi sibuk dengan kegiatan mereka serta obrolannya.

“Hei, siapa yang belum ngasihin tugasnya ke Ilma?!” tanyaku sinis kepada mereka bertiga setelah meneliti data-data dalam flashdisk Ilma.
“Ares udah loh, Ree. Iya kan, Il?” tanya Ares meminta pembelaan Ilma. Ilma mengangguk.
“Aku udah !!” jawab Ferdi sambil mengangkat tangannya, seperti ditodong polisi.
Aku menatap Dee. Meskipun aku menyukainya bukan berarti dia bebas dari tugasnya.
“Sepertinya cuma aku aja yang belum. Maaf ya Ree, sini biar aku aja yang beresin” ucap Dee sambil menggaruk-garuk kepalanya. Aku mencibir. Tidak biasanya dia seperti ini.
“Berarti tinggal buat BAB I dan BAB III-nya” ucapku.
“Kata Pengantar, Daftar Isi dan Daftar Pustaka” tambah Ilma. Aku mengacungi jempol ke arahnya.
Tidak lama kemudian kami semua sibuk dalam pembuatan BAB I dan BAB III. Aku, Dee dan Ferdi membuat BAB I sementara Ilma dan Ares menyelesaikan BAB III.
“Aduh .. kok pusing gini ya” ucapku setelah sepuluh menit berlalu tanpa mengetik apapun.
“Santei aja, Ree” sahut Ferdi tanpa menoleh ke arahku.
Tidak lama kemudian, Dee tiba-tiba kembali mengeluarkan suara emasnya. “Di, ini ..” katanya sambil menyerahkan BB-Touch miliknya pada Ferdi.
“Apaan?” Ferdi bingung.
“Kita foto-foto dulu biar ga ruwet” jawabnya.
Eh? Sejak kapan Dee jadi peduli dengan sekitarnya?.
“Fotoin aku sama Ares, Di …” kata Ilma antusias. Teman-teman sekelasku memang seperti ini, selalu eksis depan kamera. Aku tidak menghiraukan mereka, aku melanjutkan tugasku.
“Ferdi, fotoin sama Ree” kata Dee.
“Eh?” aku melongo ke arah Dee. Dee tidak sakit kan?. Dee acuh dan sudah siap dengan gaya cool-nya.
“Gaya dong Ree” kata Ferdi. Aku cepat-cepat mengubah ekspresi kaget dengan tersenyum depan kamera. Dan jadilah fotoku dan Dee yang sedang tersenyum.
Senja itu diakhiri dengan selesainya tugas penelitian Sistem Sosial Budaya Indonesia yang harus segera di kumpulkan sebelum UAS berlangsung. Oh, Tuhan … ! Ini luar biasa, aku berfoto bersama Dee ! Aku menjadikannya wallpaper di handphone-ku. Rasanya lucu sekali. Ini benar-benar diluar dugaan. Terimakasih, Dee …
***
Siang ini dia berjaket tebal. Jaket tebal berwarna merah dengan jeans biru dan sepatu kets coklat. Siang ini mendung, dan angin bertiup kencang. Mungkin itu sebabnya dia berpakaian layaknya orang eskimo. Aku memandangnya, sesekali tertunduk agar mataku dan mata sayunya tidak beradu pandang. Hari ini UAS Penulisan Berita, dan itu adalah alasan mengapa aku dan dia ada di tempat yang sama.
Hembusan angin memainkan rambut disekitar keningnya. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, membuat rambut belakangnya sedikit berantakan. Kemudian berjalan menuju kumpulan anak-anak kelas.
Aku duduk bersandar menghadapkan badanku agar selaras dengan tempatnya duduk sekarang. Dia lebih menawan ketika tersenyum dan tertawa. Melihatnya seperti ini rasanya cukup. Ya, cukup untuk mengobati kerinduan tentangnya. Meskipun rasa yang semakin mengendap ke dasar nurani ini butuh jawab.
“Dee, sini …” teriak Syila, kemudian Dee menghampirinya. Syila langsung menarik tangan Dee. Dan … jepret .. jepret …
Kamera Canon EOS 550D itu merekam frame mereka. Syila menggandeng tangan Dee ! Aah, Tuhan .. mengapa harus merasa sulit seperti ini. Aku hanya memalingkan wajah, berusaha fokus pada UAS yang akan berlangsung.
Dee memang dingin. Jadi dia hanya tersenyum tipis ketika berfoto. Tangannya melipat tepat diatas perutnya. Dan .. yah … tangan Syila mencari celah untuk bisa bergantung diantara tangan Dee.
“Arial, Rena, Tio, Refa, Lila” panggil dosen, namaku ada diantaranya. Aku bergegas memasuki ruangan ujian. Meninggalkan Dee yang masih berfoto dengan Syila. Aku berharap bisa berdampingan dengannya di ruang ujian ini.
Dua menit berlalu dan sejauh ini ujian lisanku lancar. Berita yang ku buat hanya -1. Tinggal mengubah Lead-nya saja. Kemudian Dee masuk bersama beberapa orang selanjutnya. Aku masih mengotak-atik Lead yang sudah di salin dua kali di kertas yang sama. Aku terus mengamatinya. Ingin lebih lama di ruangan ini. Aku sudah selesai dengan tugasku. Tapi dia belum juga mendapat giliran untuk mempertanggung jawabkan beritanya. Aku penasaran, apakah skill-nya sebanding dengan permainannya di lapangan ?
Aah, tapi ini terlalu lama! Aku sudah selesai sementara nama Dee belum juga dipanggil oleh dosen. Beberapa temanku yang masuk bersama telah keluar sejak tadi.
“Kamu belum selesai?” tanya Dosen melirik ke arahku.
“Oh, iya Pak … udah ..” jawabku tidak bisa menyela, dengan berat hati harus meninggalkan ruangan ini. Aah, Dee … aku duluan .. Aku melihatnya sekilas kemudian meninggalkannya di ruang ujian.
***
Terbaring di bangsal berwarna putih ini memang menyebalkan. Bagaimana lagi, seminggu dua kali harus Hemodialisis . Pada akhirnya aku memang akan mati, namun ini adalah usaha agar hidupku di dunia ini tidak terlampau sia-sia.
“Sendirian aja, dek? Mana pacarnya?” tanya perawat cantik itu, dengan sigap dia mempersiapkan alat-alatnya. Aku hanya tersenyum. Pacar? Ah, aku ingat pada Dee …
“Gimana kuliahnya?” tanya Miss Dinda, dokter muda yang menangani ku sejak pertamakali melakukan Hemodialisis. Aku lebih senang memanggilnya Miss. Usianya sekitar 25 tahun.
“Lancar Miss … Kemarin baru selesai UAS Penulisan Berita” jawabku sumringah, dengan hati-hati Miss Dinda memasukkan jarum yang diikuti selang untuk mengalirkan darah di tubuhku ke Dializer .
“Hasilnya? Baguskan?” tanyanya lagi.
“Belum tahu, Miss … tapi aku optimis …” jawabku mantap.
“Nah, seharusnya semua mahasiswa itu seperti kamu Ree .. Ga gampang nyerah, lagi sakit juga tetep ambisi pengen IP 4” ucap Miss Dinda sambil tersenyum penuh makna.
Aku hanya tersenyum mendengar gurauannya. Dokter muda nan cantik ini memang memesona. Dan aku nyaman berada di dekatnya.
Hemodialisis berlangsung selama tiga jam. Dan itu membuatku sangat bosan, sebenarnya. Rasanya sudah tidak sakit lagi, tidak … sakit sebenarnya tapi tubuhku sudah mulai terbiasa. Jadi, tidak masalah. Aku membuat beberapa catatan kecil tentang Dee …
Aku jatuh cinta, Dee ..
Entah cinta seperti apa yang hadir di pelupuk mataku
Definisi itu begitu teoritis dan empiris jika dijabarkan
Maka aku tak dapat ungkapkan seperti apa
Aku jatuh cinta, Dee …
Rasa itu menyelinap dan mencari celah untuk dapat bernafas
Bukan, tetapi mencari kehidupan ditempat yang telah tandus
Perlahan namun semakin menjalar
Jatuh cinta memang indah. Tapi aku merasa tertatih ketika mencintaimu, Dee. Mungkin karena rasa ini hanya aku yang miliki, bukan kita. Minggu ini terakhir kita bertemu, sebelum UAS resmi dari fakultas minggu depan. Aah, Dee aku tidak yakin akan bertahan sampai liburan semester depan. Aku masih berharap dapat melihat senyum menawan milikmu di semester depan.
***
Hari ini Dee sangat rapi dan tetap menawan. Kemeja coklat dengan jeans biru, sepatu kets coklat dan tas punggung hitamnya membuat dia tampak makin cool.
“Dee, selamat pagi …” sapaan itu hanya mampu berbisik dalam hati. Dia duduk di ujung barisan kedua dekat jendela, itu tempat favoritnya. Aku lebih sering melihatnya memilih kursi disana. Tapi duduk disana memang menyenangkan. Aku pernah mencobanya. Penarasan karena dia selalu duduk di tempat itu. Kursi itu memang strategis, saat bosan dengan ceramah-ceramah dosen, kamu bisa berpaling ke luar dan melihat langit biru serta taman kecil samping kelas yang jarang dilalui orang. Dee, makhluk seperti apa dirimu?
“Basket ikut ya Ree ..” ucap Syila sambil menepuk bahuku. Aku tersenyum ke arahnya.
“Siaap !!” berusaha agar nada suaraku terkesan meyakinkan. Hei, apa aku kuat? Aah, pasti bisa.
“Ayoo, sini dulu … Briefing sama coach” ajak Syila. Dan para pemain basket wanita yang hanya berjumlah 10 orang ini segera mengerubuninya. Dee. Dee didampingi Ares menyusun strategi. Kami akan bertanding dengan anak-anak Public Relations. Pertandingan persahabatan memang, tapi kami tetap ingin menang.
Aku ikut mengerubuni Dee. Dee salah satu pemain terbaik jurusan kami di cabang basketball. Tidak heran lagi jurusan kami selalu memboyong piala setinggi 1 meter, tahun ini pun demikian. Tiba-tiba aku tersadar. Oh Tuhan, aku ada di dekat Dee … sangat dekat! Aku menatap wajahnya di jarak sedekat ini. Dia sibuk berceloteh kepada yang lain. Aku lebih fokus menatapnya, bukan memperhatikan strateginya.
“Ree, kamu jadi pertahanan disini ya …” ucap Dee, menatap ke arahku kemudian menunjuk ke gambar yang dibuatnya. Pandangan kita beradu ! Ohh, Tuhan …
“Ahh, iya Dee ..” ujarku dan aku segera mengalihkan pandangan. Tidak ingin dia tahu aku menatapnya sejak tadi.
“Sukses ya semuanya !” ucap Dee sambil beralu setelah menyampaikan arahannya.
“Jangan kupa dateng ya Dee…” pinta Syila, merajuk.
Dee hanya mengangguk dan pergi. Dee, sampai jumpa di lapangan … ucapku yang hanya sampai ditenggorokan saja.
“Eh, Ree …” Dee tiba-tiba memanggilku ! Oh, Tuhan … Aku menoleh ke arahnya. “Nanti sms aku ya jadwal UAS yang lainnya”
Aku menatapnya datar “I-i-ya …” speechless ! Aku hanya menjawab sekenanya.
“Makasih ya. Aku duluan Ree …” Dia pamit dan berlalu begitu saja.
Aku tersenyum geli. Ini pertama kalinya Dee memintaku seperti itu. Dan ini pertama kalinya aku berbincang dengannya diluar tugas kuliah. Dee …
Speechless ni yee …” goda Nadia yang ternyata memperhatikanku sejak tadi.
“Keliatan ya?” tanyaku cengengesan.
“Bego ..” katanya sambil menimpuk kepalaku. Kami cengengesan. Hari ini benar-benar indah.
***
Pertandingan dimulai. Dee tidak juga muncul di lapangan. Kemana dia? Aku bermain seperti yang Dee katakan ketika breifing. Tapi aku sama sekali tidak bersemangat.
“Ree, jaga nomor 4” teriak Fany. Aku sekuat tenaga berlari untuk menghalangi si nomor 4 ini, berusaha merebut bolanya. Aku berhasil merebut bola membawanya ke wilayah lawan. Tapi … tiba-tiba pandanganku kabur. Semua yang ada dihadapanku terasa berputar. Aku ambruk.
“Ree …!!” teriakan mereka membawaku dalam dunia yang lebih gelap.
***
Karbol. Obat. Sayur bening tanpa rasa. Bau yang tidak asing lagi. Jarum infus terpasang ditangan kananku. Selang oksigen masih berbelit diantara hidung dan mulut bagian atas. Aku tidak mengira lima menit berada di lapangan itu bisa demikian parahnya. Padahal aku merasa sehat. Aku tidak ingat lagi setelah kegelapan menyelimutiku waktu itu. Aku benci hal ini, mengapa harus ada penyakit kutukan ini? Semuanya terasa amat terbatas. Mungkin saja petahanan tubuh ini makin melemah. Ini sudah bulan ke enam. Sejak awal semester melakukan Hemodialisis. Tanganku tidak lagi semulus gadis lain, setiap tempat penuh dengan bekas tusukan jarum. Aku hanya tersenyum, lagi pula waktuku tidak akan cukup untuk mencapai kehidupan indah bernama pernikahan. Bahkan rasa yang mengendap itu masih saja merengek meminta jawab. Tapi aku terlalu takut. Takut bila Dee tidak akan pernah membalasnya. Jadi, akan lebih baik jika rasa itu tenggelam lebih dalam lagi. Agar perlahan menghilang di kegelapan.
***
Hari ini UAS terakhir sebelum libur panjang. UAS Filsafat. Aku mempersiapkan dengan matang karena tidak begitu paham dengan mata kuliah yang satu ini. Ujian lisan lagi. Aku sampai di tempat ujian. Dee sudah disana bersama beberapa teman sekelas. Dia duduk di anak tangga ke empat dari bawah menuju lantai 4. Aku melihatnya sekilas, dia sedang membaca catatannya.
Hei, Dee … sudah menghapal? Kamu siap? Aku berlalu, mencari tempat yang lebih sunyi untuk me-review hapalanku. Ujian dimulai. Enam orang pertama masuk. Sepuluh menit kemudian satu persatu mereka keluar. Aku segera masuk karena ingin ujian cepat berakhir. Ruangan itu mendadak seperti tempat eksekusi narapidana hukuman mati. Kami duduk sembarang, ada enam orang dalam ruangan dengan empat kursi yang saling berhadapan.
Aku melihat Dee masuk ruangan setelah salah seorang di ruangan ini selesai. Dee duduk disampingku ! Bukan, maksudku satu kursi dari sampingku. Jadi ada kursi kosong diantara kami. Sekarang giliranku untuk menjawab soal-soal dari dosen. Aku menjawab sebisaku. Dan cukup.
“Silahkan keluar …” kata dosen setelah menandatangani kartu ujianku. Aah, padahal aku ingin lihat Dee … Ingin memberinya support.
Semoga berhasil, Dee … Aku melihat ke arahnya. Dan sosoknya menghilang dari pandanganku begitu aku keluar dari ruangan itu.
***
Aku berjalan di sekitar koridor. Memandang taman yang nampak indah. Transpalasi ginjal tidak berjalan baik. Ya, aku akan segera mati. Ginjal yang sudah digantikan ini tidak mau berfungsi. Aku akan segera meninggalkan keindahan dunia. Cepat atau lambat.
Pandanganku teralihkan. Ada sosok yang ku kenal diatas kursi roda yang di dampingi suster itu. Dia duduk diatas kursi roda dengan mata tertutup perban. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya. Aku segera mendekat ke tempatnya.
“Dee?” tanyaku, kemudian dia mengarahkan kepalanya ke sumber suara.
“Oh, kamu temannya?” tanya suster itu. Aku mengangguk. “Baiklah, tolong temani dia jalan-jalan ya .. Saya masih harus mendatangi pasien lain, tidak apa-apakan?”
“Ya, suster … jangan sungkan ..” jawabku. Dan suster itu beranjak meninggalkan kami yang masih terdiam.
“Maaf, siapa ya?” tanya Dee setelah suster itu pergi. Aku mendorong kursi rodanya perlahan. Membawanya ke dekat jendela.
“Pemain Basketball yang pingsan saat lima menit pertamanya …” jawabku singkat.
“Aah, Ree?” tanyanya lagi. “Kenapa ada disini?”
“Entahlah, hehe … Aku sedang demam, jadi datang kesini ..” Aku berbohong pada Dee.
“Memangnya di Bandung tidak ada rumah sakit ya?”tanya Dee tertawa renyah. Sikapnya lebih bersahabat.
“Memangnya di Depok tidak ada rumah sakit?” aku balik bertanya, membalas tawanya.
“Bodoh … Depok lebih dekat ke Jakarta” jawabnya singkat, lengkungan manis itu menghiasi wajahnya yang pucat.
Sungguh, ditengah keputusasaan ini dia datang sebagai oase kehidupan. Tuhan, terimakasih masih memberiku kesempatan untuk melihatnya.
***
Liburan di rumah sakit tidak begitu buruk. Apalagi ada Dee disini. Ketika berjalan menuju kamar Dee, aku melihat dr. Joe keluar dari kamar yang sama. Tanpa basa-basi aku langsung bertanya padanya.
“Dokter, bisakah beri tahu aku tentang kondisi Dee?” tanyaku ketika berpapasan dengan dr. Joe di koridor menuju ruangan Dee.
“Kamu?” dr. Joe mengerutkan keningnya menatapku heran.
“Saya Ree temannya Dee, pasien dr. Dinda. ” jawabku singkat.
“Oh, baiklah … kita bicara di ruangan saya saja” ajaknya, aku mengekor dibelakang dr. Joe.
Sampai di ruangannya, dr. Joe langsung menjelaskan kondisi Dee saat ini.
“Setahun yang lalu Dee pernah kecelakaan yang menyebabkan matanya rusak dan sempat mengalami kebutaan selama beberapa bulan, namun bisa pulih kembali walaupun tidak seperti keadaan semula. Dan seminggu yang lalu matanya terkena hantaman keras dari bola sepak. Saya ragu dia akan bisa melihat kembali.”
“Apakah artinya … dia akan buta permanen?” tanyaku ragu-ragu.
“Itu kemungkinan terburuknya. Tapi saya belum berani mengatakan itu pada Dee. Kondisi psikologis sangat buruk.”
“Tidak adakah donor mata baginya?”
“Saya sedang berusaha mencari pendonor bagi matanya. Sulit sekali menemukan pendonor mata terutama di Indonesia”
“Bisakah dokter melakukan tes pada mataku?” pintaku tanpa ragu. dr. Joe mengangguk tanpa bertanya apapun lagi.
***
Sebelum masuk ruang Hemodialisis, aku berkunjung ke ruangan Dee. Sekedar menyapa dan menghiburnya. Aku rasa dia kesepian tanpa teman di tempat berbau karbol ini. Ya, sama sepertiku. Tanpa ayah dan ibu. Ayah lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kerja terutama sejak Ibu meninggal. Katanya rumah selalu mengingatkan pada Ibu. Aku paham dan tidak lagi memintanya untuk pulang. Bahkan ketika keadaanku sedang sekarat, aku tidak pernah mengatakan hal ini pada Ayah. Entahlah, aku menghela nafas sebelum masuk ke ruangannya. Aku masuk tanpa mengetuk.
“Selamat pagi, Dee …” sapaku, ruangan Dee sama seperti ruanganku. Tidak ada yang menunggu disana.
“Ree? Kamu masih disini?” tanyanya heran.
“Iya, hehe. Aku masih harus menginap disini Dee …”
“Kamu sakit apa?” tanyanya antusias.
“Demam Dee … entahlah aku tidak begitu tahu tentang hal-hal medis …” jawabku sambil mengambil kursi dan duduk di samping bangasalnya.
“Semoga cepat sembuh ya … ” ucapnya sambil tersenyum, perban di matanya masih belum dilepas. Ini bagus, dia tidak akan melihatku dalam keadaan yang mengenaskan.
“Kamu sendiri, kenapa terdampar disini?” tanyaku iseng.
“Aku … mataku kena hantaman bola, Ree … Konyol kan?” jawabnya sambil menyeringai.
“Oh, Kok bisa ya … Ga elit banget sih Dee… Haha”
“Begitulah …” Dee hanya tersenyum kemudian terdiam cukup lama setelah itu dia berkata pelan “Aku takut Ree … Takut jika aku tidak dapat menikmati keindahan dunia ini melalui mataku lagi”
Aku tahu kekhawatiran itu Dee, aku tahu ketakutan yang sedang menyelimutimu. Aku yang akan menghilangkan ketakutanmu. Aku janji, Dee …
Aku hanya menepuk bahunya “Tenang saja Dee …” bisikku dalam hati.
***
“Miss, aku akan segera mati kan?” tanyaku di ruangan Hemodialisis. Miss Dinda tidak seperti biasanya. Dia nampak panik.
“Kamu harus tetap optimis” jawab Miss Dinda tanpa menatap wajahku. Sikap Miss Dinda tidak biasa.
Aku menarik lengan Miss Dinda. “Jelaskan padaku yang sebenarnya”
Miss Dinda menghela nafas panjang “Baiklah, Ree … Sebenarnya tubuhmu sudah menolak proses Hemodialisis ini. Keadaanmu akan semakin memburuk.” jawab Miss Dinda, matanya agak berembun.
“Berapa lama lagi aku bisa bertahan?” aku tahu, Izrail pasti sedang mengintaiku sekarang.
“Tidak lama lagi, Ree …” jawab Miss Dinda sambil memelukku yang terbaring di bangsal. Mataku ikut berembun, tiba-tiba dadaku menjadi sesak. Tapi aku tetap tersenyum. Tidak ingin membuat Miss Dinda lebih sedih.
“Aku punya permintaan terakhir, Miss …” ucapku sambil menatapnya. Miss Dinda mengusap pipinya kemudian mendengarkanku dengan seksama.
***
“Terimakasih, Suster …” ucapku setelah dia mengantarku ke kamar Dee. Tenagaku tidak cukup kuat untuk mendorong kursi roda ini. Suster itu tersenyum kemudian pamit meninggalkanku di depan bangsal Dee.
“Selamat pagi, Dee …” sapaku berusaha agar suaraku terdengar ceria. Dee sedang mendengarkan musik di Ipod-nya.
“Ree?” tanyanya seperti tidak yakin.
“Iya, ini aku ..” jawabku agak lemas.
“Kamu tidak seperti biasanya. Masih sakit?”
“Iya … Tapi sebentar lagi juga pulang” jawabku singkat. Mataku mulai memanas. Keadaanku makin memburuk, Dee … batinku.
Dee tersenyum kemudian menyerahkan sebelah earphone-nya kepadaku “Coba dengarkan lagu ini …”
Aku menancapkan earphone itu dan potongan lagu mulai terdengar I wish upon tonight … To see you smile … If only for awhile to know you’re there … A breath away not far … To where you are .
“Wow …” aku agak terkejut kemudian tersenyum manis sambil terus mendengarkan.
“Kenapa?” tanya Dee, padahal suaraku pelan.
“Aku juga suka lagu ini” jawabku dan terus menikmati lagu ini.
Aku menghela nafas kemudian memandang Dee. Hei, Dee .. sekalipun aku dalam kesunyian, aku masih bisa mendengar suaramu. Karena ingin melihatmu setiap hari maka aku bertahan dan terus berjuang. Menikmati tiap detik seperti saat ini sungguh menyenangkan bagiku. Ku rasa, jika Tuhan memintaku kembali pada-Nya maka aku akan pulang dengan tersenyum. Setidaknya aku tidak akan gentayangan seperti arwah-arwah yang mati penasaran. Aku akan pergi dengan tenang jika kamu dalam keadaan baik, Dee.
***
Suster membantuku naik ke bangsal. Dengan susah payah dan tenaga yang ku punya, aku mengangkat tubuhku yang makin kurus dan kering. Sesungguhnya, keadaan seperti ini sangat menyiksa. Tapi aku masih ingin bertahan. Masih ingin melihat senyummu, Dee.
“Bagaimana harimu? Menyenangkan?” Miss Dinda mengembalikanku ke alam sadar.
“Menyenangkan” jawabku singkat sambil tersenyum ke arah Miss Dinda. “Bagaimana?”
“Hasilnya cocok, kamu tidak perlu cemas” jawabnya sambil menggenggam erat tanganku. Karena beberapa hari ini aku tidak bisa bertemu dr. Joe maka Miss Dinda membantuku dengan menemui dr. Joe secara langsung.
“Bisakah kau memelukku, Miss?” aku merasakan kehangatan seorang ibu dalam diri Miss Dinda. Miss Dinda langsung memelukku, dia menangis sesegukkan. “Terimakasih, Miss… Terimakasih” bisikku membuat tangisnya makin menjadi.
***
Dua bulan kemudian …
“Terimakasih, Dokter …” ucap Dee sebelum meninggalkan rumah sakit. Hampir empat bulan dia berada di rumah sakit ini.
“Berterimakasihlah pada Dokter Dinda, dia yang menemukan pendonor untukmu” jawab dr. Joe.
Dee bingung dibuatnya. “Siapa dr. Dinda?”
“Dia adalah dokter penyakit dalam, dia yang lebih tahu tentang pendonor itu” dr. Joe menjawab dengan bijak, walaupun sebenarnya dia tahu tentang pendonor mata Dee. Dee merasa dia harus tahu tentang pendonor matanya. Walaupun Dee tidak yakin pendonor matanya masih bernafas seperti dirinya. Dee bergegas menemui dr. Dinda, dia ingin tahu tentang pendonor matanya. dr. Dinda ada di ruangannya. Seolah mengerti tanpa banyak bertanya, dr. Dinda menyerahkan secarik kertas dan sebuah buku diary berwarna biru pada Dee.
Jantungnya berdebar kencang, tangannya gemetar. Kertas putih itu dia buka perlahan. Lipatan demi lipatan dia buka. Matanya terpaku pada paragraf pertama dari surat itu …
Hei, Dee … Apa kabar? Senang bisa menyapamu seperti ini. Cinta memang gila ya, atau mungkin aku yang sudah gila? Entahlah bagiku tidak penting. Yang terpenting kamu bisa kembali hidup dan menikmati kehidupan.
Aku bahagia bisa memberikan kehidupan bagi orang yang masih memiliki banyak waktu. Aura kehidupanku makin meredup dari hari ke hari. Aku tahu, karena ada segerombolan orang berbaju putih melambai-lambai ke arahku bahkan mengulurkan tangannya padaku. Waktu hidupku tidak banyak lagi. Terimaksih, Dee … telah hadir di kehidupanku yang singkat. Aku pikir aku akan mati dalam kesunyian dan kegelapan. Tapi berkat kamu, akhir hidupku menjadi indah.
Maaf, Dee … menjadi pendonor matamu secara diam-diam. Bahkan ketika sekarat pun aku ingin memberikan kehidupan bagimu. Hiduplah dengan bahagia, agar aku tidak menyesal mendonorkan mata ini untuk kehidupanmu … Dee, I love you …
Salam,
Ree
Ada rasa sesak dan penyesalan dalam hatinya. Dia terlambat menyadari tentang perasaannya pada Ree. Dee memejamkan matanya yang mulai berair dan menarik nafas dalam-dalam. Sayup-sayup Dee mendengar lantunan lagu milik Josh Groban … That you are mine. Forever love. And you are watching over me from up above ..
Penulis adalah mahasiswa UIN Sunan Gunung Jati, Bandung

0 komentar:

Posting Komentar